Powered by Administrator

Translate

Kamis, 01 Agustus 2019

EMPAT KEBENARAN SEJATI

Di bab XXII Kitab Pepatah Dharma (Dharmapada) tertulis:

  1. 或多自歸  山川樹神
    廟立圖像  祭祀求福

    Banyaklah orang yang pergi berlindung
    kepada dewata penunggu gunung, sungai, dan pohon,
    kepada berhala yang didirikan di kuil-kuil,
    serta mempersembahkan sesajian demi memohon berkah.

  2. 自歸如是  非吉非上
    彼不能來  度我眾苦

    Namun, perlindungan yang demikian
    bukanlah yang teraman dan bukan yang terbaik.
    Perlindungan itu tidak dapat mendatangkan
    keselamatan bagi kita dari segala penderitaan.

  3. 如有自歸  佛法聖眾
    道德四諦  必見正慧

    Jikalau ada yang berlindung
    kepada Buddha, Dharma, dan Ārya Saṅgha,
    maka Empat Kebenaran Mulia dari Sang Jalan
    akan terlihat dengan kebijaksanaan benar, [yakni:]

  4. 生死極苦  從諦得度
    度世八道  斯除眾苦

    “Kelahiran dan kematian sungguh merupakan penderitaan (duḥkha).
    Bertolak dari Kebenaran ini (tentang asal duḥkha),
     dapatlah kita terseberangkan (menuju akhir duḥkha).
    Jalan Berunsur Delapan penyelamat dunia —
    inilah yang menghapuskan segala penderitaan.”

  5. 自歸三尊  最吉最上
    唯獨有是  度一切苦

    Berlindung kepada Tiga yang Mulia
    merupakan yang teraman dan yang terbaik.
    Hanya inilah satu-satunya
    yang menyelamatkan dari segala penderitaan.

  6. 士如中正  志道不慳
    利哉斯人  自歸佛者

    Orang yang benar-benar lurus,
    yang demi Sang Jalan, tidak merasa sayang [mengorbankan segalanya]
    — sungguh beruntunglah orang seperti itu,
    yang berlindung kepada Buddha.






Pada pemutaran Roda Dharma yang pertama di Taman Rusa, Empat Kebenaran Sejati menjadi topik bahasan utama Buddha. Empat Kebenaran merupakan kerangka klasik yang mendasari segala ajaran-Nya sepanjang 45 (atau menurut tradisi lain 49) tahun Ia berkarya, walau dapat dimengerti pada beberapa tataran. Dalam Buddha Paścimāvavāda Sūtra 《佛遺教經》 (T. vol. 12, № 389 hlm. 1111a), Aniruddha berkata:

「月可令熱,日可令冷,佛說四諦不可令異。」
“Rembulan bisa jadi panas, matahari bisa jadi dingin, namun Empat Kebenaran yang disabdakan Buddha tidaklah bisa berbeda.”

Premis-premis Empat Kebenaran menunjukkan prinsip sebab-akibat:
  1. Penyusun penderitaan (duḥkhasamudaya) adalah sebab berada di dunia.
  2. Penderitaan (duḥkha) merupakan buah berada di dunia.
  3. Jalan untuk mengakhiri penderitaan (duḥkhanirodha gāminīpratipat) adalah sebab bertolak dari dunia.
  4. Akhir penderitaan (duḥkhanirodha) merupakan buah bertolak dari dunia.
Walau demikian, rumusannya secara formal selalu berurutan 2-1-4-3.

Sebagai tabib yang baik, pertama-tama Buddha mendiagnosa gejala-gejala penyakit (penderitaan) semua makhluk. Oleh karena itulah, Kebenaran tentang duḥkha ditempatkan pertama. Untuk dapat mengobatinya, Beliau harus menemukan dahulu sebab penyakit itu. Maka Kebenaran tentang penyusun duḥkha ditempatkan kedua. Beliau menyatakan bahwa kesembuhan adalah mungkin, lalu Beliau pun meresepkan obatnya — Kebenaran tentang akhir duḥkha dan jalan untuk mengakhirinya. Karena beragamnya penyakit semua makhluk, diperlukan beragam obat dengan kombinasi bahan yang berbeda-beda (meskipun bahan dasar obat tersebut sama). Maka seringkali dikatakan bahwa Buddha mengajarkan 84.000 Pintu Dharma yang berbeda-beda sesuai kapasitas dan kondisi makhluk yang berbeda-beda.



Sewaktu memutar Roda Dharma pertama kalinya, Buddha bahkan sampai melakukan tiga putaran (parivarta) untuk keempat Kebenaran. Eksegesa dalam Buddhisme Tiongkok menafsirkan bahwa putaran-putaran tersebut masing-masing bersifat indikatif, rekomendatif, dan evidensial.
  • Putaran indikatif 示轉 maksudnya bersifat penunjukan.
    Hal ini ditandaï dengan kata-kata tunjuk: “inilah” (ayaṃ, idaṃ). Mereka dengan kapasitas utama, dengan indera yang tajam, langsung tercerahkan begitu mendengar penunjukan seperti ini saja —
      此是苦 inilah penderitaan,
      此是集 inilah penyusunnya,
      此是滅 inilah akhirnya,
      此是道 inilah jalannya.
  • Putaran rekomendatif 勸轉 maksudnya bersifat penganjuran.
    Kata-kata kuncinya di sini: “harus diketahui” (parijñeya), “harus dipotong” (prahātavya), “harus direalisasi” (sākṣātkartavya), “harus dikembangkan” (bhāvayitavya). Mereka dengan kapasitas madya, dengan indera menengah, tidak langsung tercerahkan dengan penunjukan pertama, sehingga harus diberi anjuran sekali lagi —
     此苦當知 penderitaan ini harus diketahui,
     此集當斷 penyusunnya ini harus dipotong,
     此滅當證 akhirnya ini harus direalisasi,
     此道當修 jalannya ini harus dikembangkan.
  • Putaran evidensial 證轉 maksudnya bersifat pemberian bukti.
    Kata-kata kuncinya di sini: “telah Kuketahui” (parijñāta), “telah Kupotong” (prahīṇa), “telah Kurealisasi” (sākṣātkr̥ta), “telah Kukembangkan” (bhāvita). Mereka dengan kapasitas asor, dengan indera yang tumpul, bahkan tidak tercerahkan setelah mendengar dua kali, dan harus diberi bukti agar yakin —
    此苦我已知 penderitaan ini telah Kuketahui,
    此集我已斷 penyusunnya ini telah Kupotong,
    此滅我已證 akhirnya ini telah Kurealisasi,
    此道我已修 jalannya ini telah Kukembangkan.

Untuk jelasnya lihat interpretasi guru besar T’ien-t’ai, Cʜɪʜ-ɪ, dalam jilid 7 Fa-hua wên-chü 《法華文句》 (‘Kata-kata dan Kalimat dari Saddharmapuṇḍarīka’, T. vol. 34, № 1718 hlm. 99a). Cʜɪʜ-ɪ lebih jauh lagi menautkan tiga putaran dengan tiga Kendaraan: para bodhisattva tercerahkan cukup dengan satu putaran, para pratyeka ditambah dengan yang kedua, dan para śrāvaka membutuhkan tiga-tiganya semua.

Yakinlah kepada Śīla Buddhis

Petikan Bodhisattvakeyura-parikarma Sūtra 《菩薩瓔珞本業經》 yang telah kita kutip berbunyi:

入三寶海,以信為本;住在佛家,以戒為本。
Untuk memasuki laütan Triratna, keyakinan adalah dasarnya; untuk berdiam dalam keluarga Buddha, Śīla adalah dasarnya.

Di bab III Cittabhūmi-parīkṣā Sūtrasebuah jātaka Mahāyāna 《大乘本生心地觀經》 (T. vol. 3, № 159 hlm. 306c) Buddha menyabdakan hal yang sama:

「汝等比丘。諦聽!諦聽!入佛法海,信為根本;渡生死河,戒為船筏。」
“Kalian, para bhikṣu, dengarlah baik-baik! dengarlah baik-baik! Untuk memasuki laütan Buddhadharma, keyakinan adalah akarnya; untuk menyeberangi sungai kelahiran-kematian, Śīla adalah rakit kapalnya.”






Rumusan Tiga Perlindungan menjadi semacam verba consecrationis (kata-kata “sakti” pengkonsekrir) pada waktu menerimakan disiplin Buddhis mana pun, baik Lima Śīla, Delapan Śīla, Sepuluh Śīla, bahkan (semula juga) Upasaṃpanna Śīla. Dengan mengulanginya lengkap tiga kali, substansi Śīla terbentuk dalam diri si pemohon. Mengacu pembahasan sebelumnya, bagaimana mungkin kita mengulangi rumusan Tiga Perlindungan jikalau kita tidak sudi berlindung kepada Triratna? Bagaimana mungkin kita pergi berlindung jikalau kita tidak memiliki keyakinan?




Keyakinan kepada Dharmaratna beraspek dua: yakin akan Dharma sebagai keadaan bebas-nafsu dan yakin akan Dharma sebagai pemotong nafsu. Penjelasan dari Sarvāstivāda-vinaya Vibhāṣā ini dikutip oleh Vinayācārya Tao-hsüan. Berlindung kepada Dharma, sebagai keadaan bebas-nafsu, berarti berlindung kepada Nirvāṇa itu sendiri. Nirvāṇa itu telah direalisasi oleh Buddha, lalu diajarkan-Nya kepada Saṅgha. Maka muncullah aspek lain dari Dharmaratna: sebagai pemotong nafsu yang diajarkan Buddha (yang meliputi menjadi Latihan Berunsur Tiga: Śīla, Samādhi, dan Prajñā). Dalam skema Empat Kebenaran, Dharma yang direalisasi oleh Buddha (alias Nirvāṇa) merupakan yang ketiga, yakni Kebenaran Sejati tentang Akhir Penderitaan. Dharma yang diajarkan Buddha kepada Saṅgha merupakan yang keempat, yakni Kebenaran Sejati tentang Jalan untuk Mengakhiri Penderitaan.

Dari sini dapat kita lihat betapa pentingnya Śīla, sebagai Dharma yang diajarkan Buddha. Bagaimana mungkin kita berharap dapat terlepas dari segala belenggu dan meraih Kebebasan jikalau kita tidak yakin dan bertekad menjalankan Śīla yang sungguh merupakan pemotong nafsu? Perumpamaan rangkap-empat seringkali digunakan untuk menggambarkan hal ini: Buddha adalah tabib, Dharma (Nirvāṇa) adalah keadaan kesembuhan, Saṅgha adalah jururawat, dan Śīla adalah obat mujarab. Perumpamaan lain yang juga sering digunakan adalah: Buddha sebagai nakhoda, Dharma (Nirvāṇa) sebagai pantai seberang, Saṅgha sebagai sesama penumpang, dan Śīla sebagai rakit.

Daśadharmaka Sūtra, sūtra ke-9 dari Mahāratnakuṭa 《大寶積經·大乘十法會》 (T. vol. 11, № 310 hlm. 151b), mengatakan:

信為增上乘  信者是佛子
是故有智者  應常親近信
信是世間最  信者無窮乏
是故有智者  應常親近信
若不信之人  不生諸白法
猶如燒種子  不生根芽等

Keyakinan adalah wahana peningkatan;
mereka yang yakin merupakan putra-putra Jina.
Oleh sebab itu, seorang yang bijak
semestinya selalu mengeratkan keyakinan.

Keyakinan adalah yang terutama di dunia;
mereka yang yakin tiada berkekurangan.
Oleh sebab itu, seorang yang bijak
semestinya selalu mengeratkan keyakinan.

Seseorang yang tidak yakin
takkan melahirkan segala dharma yang putih,
sama seperti benih yang terbakar
takkan melahirkan akar dan tunas.

Selasa, 30 Juli 2019

Śīla Buddhislah Satu-Satunya yang Terunggul dalam Memurnikan

Di bab III Mahāsatyaka-nirgrantha Nirdeśa Sūtra (T. vol. 9, № 272 hlm. 321b) Buddha memujikan Śīla Pāramitā kembali kepada Mañjuśrī dengan mengucapkan gāthā:

  1. 欲離諸生死  安隱到涅槃
    一切如來說  持戒最第一

    Kepada siapa pun yang
     ingin bertolak dari kelahiran-kematian,
    dan dengan selamat tiba di Nirvāṇa,
    semua Tathāgata mengatakan:
    “Memegang Śīla adalah yang terbaik!”

  2. 戒如清涼池  能生諸善花
    亦如猛熾火  能燒諸惡草

    Śīla bagaikan kolam yang jernih dan sejuk,
    mampu melahirkan aneka bunga yang baik;
    juga bagaikan api yang berkobar-kobar,
    mampu membakar aneka ilalang yang jahat.

Śīla Duniawi Tidaklah Murni

Tanpa pernah berkomitmen dengan mengambil suatu disiplin sebelumnya, seseorang yang berhasil meraih pencapaian meditasi tertentu juga memiliki substansi Śīla dalam dirinya, yakni: Dhyānaja Saṃvara. Akan tetapi, sama seperti Dhyāna yang tidak kekal, substansi tersebut sangat mudah terpengaruh keadaan batin (cittānuvartin). Sebagai contoh: meskipun Udraka Rāmaputra telah mencapai Ārūpya Samāpatti, saat kakinya disentuh oleh permaisuri raja, nafsu terbangkitkan dalam batinnya. Ia kehilangan pengendalian diri sehingga tidak mampu terbang kembali ke tempat kediamannya.


Untuk substansi Śīla yang terbentuk karena pengambilan, jika seseorang yang mengaku Buddhis mengambil disiplin-disiplin Buddhis namun tidak disertaï motivasi untuk bertolak dari saṃsāra, maka latihan moralitas yang dijalankannya jadi sama saja dengan latihan non-Buddhis — ajaran-ajaran non-Buddhis pun mewajibkan para penganutnya agar berkomitmen menjaga moralitas (biasanya dengan diiming-imingi pahala surga)! Apalagi jika seseorang yang mengambil disiplin-disiplin Buddhis sama sekali tidak memahami konsep substansi Śīla — apalah beda latihannya dengan norma moralitas umum? Sebab dalam bermasyarakat, walau tidak pernah menyatakan komitmen (dengan mengambil disiplin spesifik), orang-orang di dunia pun berusaha hidup secara bermoral.

Moralitas yang timbul secara alami berkat pencapaian meditasi dan moralitas yang timbul karena pengambilan tergolong sebagai śīla duniawi karena sifatnya terkondisi. Dalam pengertian ini, moralitas yang timbul karena pengambilan mencakup Prātimokṣa (Buddhis) maupun non-Prātimokṣa (non-Buddhis). Hanya Anāsrava Saṃvara-lah yang tergolong śīla adiduniawi sebab tidak terkondisi.

Akan tetapi, sebagaimana dikatakan dalam Vinaya Mātr̥kā bahwa disiplin Prātimokṣa “yang duniawi ini mampu menjadi sebab bagi yang adiduniawi”, maka secara sempit disiplin Prātimokṣa boleh disebut śīla adiduniawi juga, sedangkan disiplin non-Prātimokṣa śīla duniawi. Pengertian ini ditekankan dalam bab XXII Upāsaka Śīla Sūtra 《優婆塞戒經·五戒品》 (T. vol. 24, № 1488), di mana disiplin Prātimokṣa dinamakan pula śīla tertinggi. Di hlm. 1064a dikatakan:

世戒亦有不殺、不盜;義戒亦有不殺、不盜。至不飲酒,亦復如是。
Dalam śīla duniawi terdapat juga pantangan membunuh dan mencuri [sebagaimana diajarkan] dalam śīla tertinggi untuk tidak membunuh dan tidak mencuri. Bahkan sampai pantangan meminum minuman-keras pun begitu pula.

如是世戒,根本不淨,受已不淨。莊嚴不淨、覺觀不淨、念心不淨、果報不淨。
Walau demikian, śīla duniawi — karena akarnya tidak murni —, setelah diterima, pun seseorang tidak termurnikan. Hiasannya tidak termurnikan, penalaran (vitarka) dan pengawasannya (vicāra) tidak termurnikan, perhatiannya tidak termurnikan, buahnya pun tidak termurnikan.

故不得名第一義戒,唯名世戒。是故!我當受於義戒。
Maka [moralitas tersebut] tidak dapat dinamakan sebagai śīla tertinggi, tetapi hanya dinamakan śīla duniawi. Oleh karena itu, seharusnyalah kita menerima śīla tertinggi!

“Akarnya tidak murni” sebab śīla duniawi biasanya diambil dengan motivasi agar terlahir di surga. Śīla-śīla Buddhis diambil untuk mencapai Kebebasan dari saṃsāra atau, bagi seorang praktisi Jalan Bodhisattva, untuk mencapai Pencerahan Tertinggi demi menguntungi, bukan cuma diri sendiri, melainkan juga semua makhluk.

“Hiasan” bermakna jasa-jasa (dari pelaksanaan moralitas). Jasa-jasa menjadi penghias Jalan menuju Pencerahan. Bukan hanya untuk tujuan-tujuan duniawi, untuk mencapai tingkatan Pencerahan mana pun, diperlukan jasa-jasa besar. Jasa-jasa dari pelaksanaan śīla duniawi secara egoistis ditujukan agar diri sendiri dapat terlahir di surga. Jasa-jasa dari pelaksanaan śīla-śīla Buddhis ditujukan untuk mencapai Kebebasan dari saṃsāra namun dengan realisasi bahwa pribadi yang terbebas dari saṃsāra pada hakikatnya kosong.

Ruang lingkup śīla duniawi biasanya terbatas. Pantangan membunuh, misalnya, hanya mencakup sesama manusia, sedangkan hewan-hewan boleh dibunuh. Ruang lingkup śīla-śīla Buddhis meliputi seluruh Dharmadhātu. Pantangan membunuh mencakup semua makhluk, bukan hanya yang ada di sistem dunia kita ini saja, bahkan hingga ke sepuluh penjuru dan tiga masa. Karena ruang lingkup śīla duniawi terbatas, mustahil pelaksananya bisa mengembangkan kasih-sayang secara sempurna. Dengan demikian “penalaran dan pengawasannya tidak termurnikan”. Mereka takkan dapat melenyapkan kebencian (dan juga keserakahan & kebodohan) seutuhnya.

Śīla duniawi biasanya dilaksanakan secara mekanis semata-mata karena kewajiban agama sehingga “perhatiannya tidak termurnikan”. Śīla-śīla Buddhis diambil secara sukarela tanpa diwajibkan; seseorang melaksanakannya dengan perhatian penuh dan mendedikasikan segala jasanya untuk mencapai Pencerahan.

Untuk mencapai tingkatan Pencerahan mana pun, diperlukan jasa-jasa besar. Nidhikaṇḍa Sutta dari Khuddaka Pāṭha Pāli menyebutkan:
Pengetahuan analitis (paṭisaṃbhidā), pembebasan (vimokkha),
kesempurnaan seorang siswa (sāvaka pāramī),
pencerahan pacceka (pacceka bodhi), dan tingkatan Buddha (buddha bhūmi)
— semuanya diperoleh [karena buah jasa-jasa].
Hal ini tidak bisa dihasilkan dengan melaksanakan śīla duniawi. Oleh karena itu, “buahnya pun tidak termurnikan”.

Senin, 29 Juli 2019

Moralitas yang Terbentuk karena Pencapaian Meditasi Semata sifatnya Duniawi dan Tidak Stabil

Berbagai posting kita sebelumnya telah membahas peran penting Śīla yang tak boleh disepelekan, bukan cuma bagi praktisi Hīnayāna, tetapi juga praktisi Mahāyāna — bahkan bagi yang mempraktikkan Mantrayāna. Apalah bedanya latihan moralitas duniawi vs. latihan yang dijalankan seseorang yang mengaku Buddhis namun tidak memiliki substansi Śīla Buddhis (Prātimokṣa Saṃvara) dalam dirinya? Moralitas tersebut profan dan takkan dapat menjadi sebab untuk merealisasi Kebebasan Sejati.

Dalam kerangka Latihan Berunsur Tiga (trīṇi śikṣāṇi) juga ditekankan bahwa apabila Śīla tidak murni, Samādhi takkan maujud. Memang benar, bahwa dengan moralitas yang tidak murni-murni amat, terdapat orang-orang yang berhasil meraih pencapaian meditasi tertentu. Akan tetapi, non-Buddhis pun bisa memiliki dhyāna; dan itu bersifat duniawi, bukan Samādhi yang dipujikan Buddha.

Dhyāna tidaklah kekal. Bahkan andaipun seseorang telah mencapai dhyāna yang tertinggi, apabila ia tidak berhasil merealisasi Kebebasan, suatu saat pastilah ia terjatuh. Di jilid 38 Mahāparinirvāṇa Sūtra 《大般涅槃經》 (T. vol. 12, № 374 hlm. 589b) dikatakan:

「雖復得受梵天之身,乃至非想非非想天,命終還墮三惡道中。」
“Meskipun seseorang dapat lagi menerima tubuh sebagai brahma, bahkan hingga sebagai dewa Naivasaṃjñā-nāsaṃjñāyatana, ia akan jatuh kembali ke tiga jalur-kelahiran rendah setelah hidupnya berakhir.”



Udraka Rāmaputra merupakan guru Siddhārtha Gautama sebelum menjadi Buddha dan seringkali dijadikan contoh orang yang tak pernah mengambil disiplin Buddhis apa pun, namun berhasil meraih Ārūpya Samāpatti tertinggi. Ia pernah disinggung dalam Upāsaka Śīla Sūtra yang telah kita kutip. Kisah selengkapnya terdapat dalam jilid 61 Abhidharma Mahāvibhāṣā 《阿毘達磨大毘婆沙論》 (T. No. 1545) di mana namanya diterjemahkan sebagai 猛喜子 (*Rudraka Rāmaputra). Kisah ini diulangi secara singkat di bab I-28 Mahāprajñāpāramitā Upadeśa 《大智度論》 (T. vol. 25, № 1509 hlm. 188c):

鬱陀羅伽仙人得五通,日日飛到王宮中食。
Seperti Resi Udraka, yang memperoleh lima penembusan (pañca abhijñā), setiap hari terbang ke istana raja untuk bersantap.

王大夫人,如其國法,捉足而禮。
Permaisuri utama raja, sesuai adat negeri tersebut, menjamah kakinya sebagai penghormatan.

夫人手觸,即失神通。從王求車,乘駕而出,還其本處。
Demi tersentuh tangan sang permaisuri, dalam seketika ia kehilangan penembusan spiritualnya. Maka dipintanya dari raja sebuah kereta agar dapat dikendaraïnya pulang, dan kembalilah ia ke tempat asalnya.

入林樹間,更求五通,一心專至。
Ia pun masuk hutan belantara, mencari kembali lima penembusan, berintens dengan sepenuh hati untuk mencapainya.

垂當得時,有鳥在樹上急鳴,以亂其意。
Tatkala akan memperolehnya, seekor burung di atas pohon tiba-tiba berkicau sehingga mengacaukan pikirannya.

捨樹至水邊求定,復聞魚鬪動水之聲。此人求禪不得,即生瞋恚:「我當盡殺魚、鳥!」
Maka ditinggalkannya pohon tersebut dan pergilah ia ke tepi air untuk mencari samāpatti. Lagi-lagi kedengaran suara ikan beradu menggolakkan air. Karena tidak berhasil memperoleh dhyāna, timbul kebencian padanya: “Akan kubunuh habis semua ikan dan burung!”

此人久後思惟得定,生非有想非無想處。於彼壽盡,下生作飛狸,殺諸魚、鳥。作無量罪,墮三惡道。
Setelah lama bermeditasi, ia pun berhasil memperoleh samāpatti dan [kelak kemudian] terlahir di Naivasaṃjñā-nāsaṃjñāyatana. Tetapi di sana, sesudah hidupnya berakhir, ia akan merosot lahir sebagai tupai terbang dan membunuh segala ikan dan burung. Melakukan kejahatan-kejahatan yang tak terukur, terjatuhlah ia ke tiga jalur kelahiran rendah.

是為禪定中著心因緣。外道如此,佛弟子中亦有。
Demikianlah sebab-musabab karena batin yang melekat dalam dhyāna dan samāpatti. Para tīrthika seperti ini, siswa-siswi Buddhis pun juga ada [yang begini].