Powered by Administrator

Translate

Rabu, 27 April 2022

Petikan dari Kitab Pepatah Dharma (Dharmapada)

  1. 戒為甘露道  放逸為死徑
    不貪則不死  失道為自喪

    Śīla adalah Jalan Embun Manis¹,
    kelengahan merupakan rintis kematian.
    Mereka yang tidak serakah takkan mati,
    mereka yang kehilangan Jalan mematikan dirinya sendiri.

—— Kitab Pepatah Dharma bab X, “Kelengahan”
《法句經·放逸品第十》
(T. vol. 4, № 210 hlm. 562b)



Mengenaï sejarah Kitab Pepatah Dharma lihat di sini.






CATATAN:

¹ Skt. amr̥tapada ‘Jalan menuju Tanpa Kematian’. Untuk perhatian, apabila kita bandingkan paralel pada berbagai versi Indis, nyatalah bahwa apa yang ditraduksi sebagai 戒 di kalimat ini sebenarnya adalah ‘ketidaklengahan/ kewaspadaan’ (apramāda). Akan tetapi, bait Tionghoa ini begitu populer sehingga ia digunakan kembali dalam terjemahan-terjemahan Dharmapada di zaman kemudian, juga dalam sebuah sūtra di varga XXXV Ekottara Āgama.

Selasa, 12 April 2022

Kamar yang Gelap Ribuan Tahun, Dengan Satu Pelita Teranglah


又如冬時雪自凝積,日所照故,雪自消散。行人清淨戒日舒光,罪雪盡消亦復如是。
Pun bagaikan salju musim dingin yang bertumpuk membeku: oleh pancaran matahari, buyarlah salju itu meleleh dengan sendirinya. Praktisi yang disinari matahari Śīla yang murni, salju kejahatannya juga meleleh habis sedemikian.

又如室中千年黑闇,一燈倏照,黑闇都盡。亦如行人千生之中所積黑業,……,爍黑闇業,一切都盡。
Pun bagaikan kegelapan ribuan tahun dalam sebuah kamar: oleh pancaran kilat sebuah pelita, berakhirlah kegelapan itu seluruhnya. Begitu pula praktisi yang selama ribuan kelahiran menumpuk karma hitam, …, leburlah segala karma gelap hitam itu, berakhir seluruhnya.

—— Subāhu-paripr̥cchā Tantra 《妙臂菩薩所問經》
(T. vol. 18, № 896 hlm. 759b)


Pancaran pelita yang dalam seketika menerangi “kamar gelap ribuan tahun” (varṣasahasra-sañcita-tamondhakāra) merupakan perumpamaan yang sering muncul dalam sūtra, dan populer dikutip oleh penulis-penulis Buddhis, dengan segala variasi (misalnya: mengganti ribuan dengan ratusan). Perumpamaan ini digunakan untuk menggambarkan berbagai hal: Dharmaratna, Śīla, bodhicitta, satu pengamatan Kebenaran Sejati, buah-pikir bertobat, lafalan mantra/nama Buddha, dsb.

Mengulangi penjelasan yang sudah sering kita bahas dari Hsing-shih ch’ao 《行事鈔》 (T. vol. 40, № 1804 hlm. 25c) karya Vinayācārya Tᴀᴏ-ʜsᴜ̈ᴀɴ, bahwa:

未受戒前,惡遍法界;今欲進受,翻前惡境,並起善心。故戒發所因還遍法界。
Sebelum menerima Śīla, kejahatan kita merata (memenuhi) Dharmadhātu; kini, saat kita berhasrat maju menerima, kita menukar lingkup kejahatan sebelumnya, serta membangkitkan buah-pikir baik. Oleh karena itu, penyebab terbentuknya [substansi] Śīla terpulang pada serata Dharmadhātu.

Kejahatan kita merata terhadap segenap Dharmadhātu. Walau tidak pernah (atau mungkin pernah di kehidupan-kehidupan lampau — kita tidak ingat lagi) membentuk avijñapti khusus untuk melakukan kejahatan, batin kita senantiasa didasari tiga racun sehingga segenap Dharmadhātu bisa menjadi objek kejahatan kita: baik terhadap yang tak-hidup, maupun yang hidup. Terhadap objek hidup pun bisa mereka yang ada di enam ranah makhluk biasa (pr̥thagjana), maupun di empat ranah pribadi suci (ārya).

Akan tetapi, dengan batin didasari kasih–sayang, kini kita yakin dan berhasrat menerima Śīla para Buddha. Apa yang sebelumnya menjadi lingkup kejahatan kita, kini bertukar menjadi lingkup kebaikan. Segenap Dharmadhātu dalam seketika terliputi buah-pikir baik kita. Jadi, dapat dikatakan bahwa ruang lingkup pembentukan substansi Śīla (yang merupakan tubuh Dharma kausal) ialah serata Dharmadhātu (yang merupakan tubuh Dharma pada tataran hakiki).




Perumpamaan pancaran pelita yang tersua paling awal adalah dalam sūtra pertama Mahāsannipāta 《大方等大集經・瓔珞品》 (T. vol. 13, № 397 hlm. 4c) terjemahan Dharmakṣema sekitar tahun 414. Dalam sūtra ini Buddha memuji para Bodhisattva yang berhasil memasuki berbagai Samādhi lalu menguntungi banyak makhluk sbb.:

「善男子。譬如一處百年闇室,一燈能破;汝等亦爾,無量世中無明黑闇,今日能破。如日月寶光,住信戒施慧禪定亦爾。」
“Putra berbudi, ibarat kegelapan kamar ratusan tahun di suatu tempat, yang dengan satu pelita mampu terhancurkan, kalian pun demikian: kegelapan dari ketidaktahuan (avidyā) selama kehidupan-kehidupan yang tiada terukur, pada hari ini mampu terhancurkan. Bagaikan cahaya mustika mentari atau rembulan, berdiam dalam keyakinan (Śraddhā), moralitas (Śīla), derma (Dāna), kebijaksanaan (Prajñā), dan meditasi (Dhyāna) begitu pula.”

Maka sekali lagi di sini ditekankan pentingnya Śīla sebelum bisa memperoleh Samādhi dan Prajñā, dan Śīla tidak bisa dimiliki jikalau kita tidak yakin kepada Dharma tentang Śīla itu sendiri. Bodhisattvakeyura-parikarma Sūtra yang kita kutip sebelumnya menyatakan:

入三寶海,以信為本;住在佛家,以戒為本。
Untuk memasuki laütan Triratna, keyakinan adalah dasarnya; untuk berdiam dalam keluarga Buddha, Śīla adalah dasarnya.

Sabtu, 09 April 2022

Yakinlah bahwa Apa yang Diperoleh itu Sungguh merupakan Benih Tubuh Dharma

Maka kita hendaknya yakin bahwa penerimaan Śīla sungguh merupakan inisiasi ke dalam tubuh Dharma yang sama yang direalisasi Buddha dan para ārya. Hanya melaluinyalah Kebuddhaan kelak akan tercapai sebab, apabila benih tidak ditanam, bagaimana bisa Buah diperoleh.

Petikan dari Brahmajāla Sūtra 《梵網經》 (T. vol. 24, № 1484 hlm. 1004a) berikut konteksnya membahas disiplin Bodhisattva, yang mengatur penghindaran kejahatan jasmani, ucapan, hingga pikiran. Namun, sebetulnya relevan juga untuk disiplin Prātimokṣa umum yang hanya mengatur penghindaran kejahatan jasmani dan ucapan — baik itu Pañca Śīla perumahtangga yang sangat general, maupun Upasaṃpanna Śīla monastik yang lebih mendetail.

「汝是當成佛  我是已成佛
 常作如是信  戒品已具足

 “Kamu adalah Buddha yang akan jadi;
 Aku adalah Buddha yang telah jadi.
 Senantiasa yakini hal ini sedemikian,
 maka anggota Śīla sudahlah lengkap.

 一切有心者  皆應攝佛戒
 眾生受佛戒  即入諸佛位
 位同大覺已  真是諸佛子」

 Semuanya yang memiliki batin
 hendaklah memeluk Śīla Buddha ini.
 Makhluk hidup yang menerima Śīla Buddha,
 akan memasuki posisi para Buddha.
 Setelah berkedudukan sama dengan Pencerahan Agung,
 sungguhlah mereka merupakan para putra Jina.”

Sewaktu mendefinisikan siapakah seorang upāsaka (lihat di sini), Bhadanta Sᴀɴ̇ɢʜᴀʙʜᴀᴅʀᴀ, guru Vaibhāṣika konservatif yang mengomentari syair-syair (kārikā) Abhidharmakośa karangan Vasubandhu, menulis dalam Nyāyānusāra Śāstra 《阿毘達磨順正理論》 (T. vol. 29, № 1562 hlm. 554b) sbb.:

分同諸佛,得淨尸羅,善意樂故。
Ia (seorang upāsaka) mendapat bagian yang sama dengan para Buddha, [yakni] Śīla yang murni, sebab kecenderungan pikirannya yang baik.

Di jilid pertama Fa-hua wên-chü chi 《法華文句記》 (‘Catatan atas Kata-kata dan Kalimat dari Saddharma-puṇḍarīka’, T. vol. 34, № 1719 hlm. 162c) Guru Besar Cʜᴀɴ-ᴊᴀɴ alias Mɪᴀᴏ-ʟᴏ, patriark kesembilan Sekolah T’ien-t’ai, menulis:

故論云:「若持五戒,釋迦文佛在汝家中。」
Karenanya Śāstra menyatakan: “Jikalau memegang Lima Śīla, Buddha Śākyamuni berdiam dalam rumahmu.”


Vinayācārya Tᴀᴏ-ʜsᴜ̈ᴀɴ juga menulis di seksi kedelapan Hsing-shih ch’ao 《行事鈔》 (T. vol. 40, № 1804 hlm. 26a):

《薩婆多》云:「新受戒人 與 佛 戒齊德也。」
Sarvāstivāda[-vinaya Vibhāṣā] menyatakan: “Orang yang baru menerima Śīla identik dengan Buddha kualitas Śīla-nya.”

Pernyataan ini bersumber dari penjelasan untuk pāyantika/pātayantika ke-20 di jilid 7 Sarvāstivāda-vinaya Vibhāṣā 《薩婆多毘尼毘婆沙》 (T. vol. 23, № 1440 hlm. 545b):

闡那作房,即日成即崩倒。作此大房用三十萬錢——功用甚大。
Chandaka membuat mansiun (mahallaka) yang hari itu jadi, hari itu juga roboh. Pembuatan mansiun besar ini menggunakan tiga puluh laksa kārṣāpaṇa — biaya dan tenaga yang amat besar.

諸比丘為檀越說法:「房雖崩倒,功德成就。房未壞時,佛已到此房中,即是受用。佛是無上福田;佛既受用,功德深廣、不可測量。
Para bhikṣu membabarkan Dharma kepada dānapati: “Meskipun mansiun ini roboh, namun jasa-jasa Anda telah tercapai. Sebelum mansiun hancur, Buddha sempat sampai di mansiun ini, menerima penggunaannya. Buddha adalah ladang jasa yang tiada taranya; jika Buddha sudah mengambil penggunaan, maka jasa-jasa Anda dalam dan ekstensif, tiada boleh terduga atau terukur.”

又云:「房始成時,有一新受戒年少比丘戒德清淨,入此房中,以楊枝猗房。以此一持戒比丘,已畢檀越信施之德。」
Pun mereka berkata: “Saat mansiun mulaï jadi, ada seorang bhikṣu muda yang baru menerima Śīla, yang murni kualitas Śīlanya, memasuki mansiun ini, dan dengan kayu penyugi (dantakaṣṭha) ia bersandar pada mansiun [menggosok gigi]. Oleh satu bhikṣu pemegang Śīla ini, sudahlah terserap kebajikan dānapati yang berderma dengan keyakinan.”

若起億數種種房閣、種種莊嚴,下至金剛地際,高廣嚴飾猶若須彌。設有一淨戒比丘,暫時受用,已畢施恩。何以故?
Kalaulah dibangun berjenis-jenis gedung mansiun sejumlah kotian unit, dengan berjenis-jenis ornamen ke bawah tanah hingga batas bajra (vajratalashāna), dengan tinggi menjulang terhias bagaikan Sumeru. Lalu seandainya terdapat seorang bhikṣu dengan Śīla murni yang mengambil penggunaannya sekejap saja, maka sudahlah terserap budi dari derma tersebut. Apakah sebabnya?

佛於無量劫中修菩薩行。今得成佛道,始體解波羅提木叉以授眾生。波羅提木叉非世間法;是背離世俗、向泥洹門。
Selama berkalpa-kalpa tiada terukur Buddha mengembangkan praktik bodhisattva. Kini, setelah Beliau berhasil mendapat Kebuddhaan, mulaïlah disubstansiasi dan dipahamkan-Nya Prātimokṣa dengan memberikannya kepada makhluk lain. Prātimokṣa bukanlah dharma duniawi; ialah Pintu untuk membelakangkan keduniawian dan menghadap Nirvāṇa.

凡房舍、臥具、飲食、湯藥是世間法,非是離世難得之法。是故!一淨戒比丘若暫受用,已畢施恩。
Setiap tempat tinggal, perlengkapan tidur, makanan, dan obat-obatan adalah dharma duniawi, bukan dharma adiduniawi yang sukar didapat. Oleh sebab itu, seorang bhikṣu dengan Śīla murni, jikalau mengambil penggunaannya sekejap saja, maka sudahlah terserap budi dari derma tersebut!

Kamis, 07 April 2022

Memperoleh Kelengkapan Śīla Berarti Lahir Baru


具戒行者,心無穢濁,內外清潔;凡人猶瓦石。
Praktisi yang Śīlanya lengkap, batinnya tiada terkeruhkan kotoran, bersih jernih secara internal dan eksternal; sedangkan orang biasa ibarat pecahan genting atau batu.

具戒高行者,若明月珠也;瓦石滿四天下,猶不如真珠一矣。
Ia yang Śīlanya lengkap dan praktiknya tinggi adalah serupa mutiara candrakānta yang cemerlang; pecahan genting atau batu yang memenuhi keempat kolong langit tidaklah sebanding dengan mutiara sejati sebutir saja.

—— Sūtra tentang si Kasta Keempat 《佛說四姓經》
(lihat posting terdahulu)


Masih berkaitan dengan masalah linguistis, terjemahan Tionghoa tertua dari sebuah versi Velāma Sūtra yang dikutip di atas menegaskan Śīla sebagai disiplin yang dimiliki seorang Buddhis berbeda dengan śīla (moralitas) yang dilaksanakan orang biasa. Orang biasa bisa hidup bermoral, tetapi mereka takkan memiliki kelengkapan Śīla. “Śīla yang lengkap” maksudnya Śīla tersebut genap terbentuk dalam diri, Śīla yang dimohon berhasil diperoleh substansinya.

Menerima Śīla berarti menerima benih tubuh Dharma (dharmakāya, lihat di sini). Begitu seseorang berhasil memperoleh substansi Śīla, ia seolah-olah lahir baru: batinnya tiada terkeruhkan kotoran, bersih jernih secara internal dan eksternal. Namun, karena juga masih berupa benih, maka substansi Śīla yang lengkap itu harus senantiasa dijaga dengan praktik yang tinggi sehingga karakteristiknya serupa mutiara candrakānta yang cemerlang — inilah polisemi dari Śīla yang dicermati Vinayācārya Tᴀᴏ-ʜsᴜ̈ᴀɴ (lihat di sini).

Sayangnya amat banyak orang yang mengaku Buddhis — baik perumahtangga maupun monastik — yang menganggap bahwa upacara penerimaan Śīla hanyalah janji untuk melaksanakan moralitas, tanpa signifikansi spiritual apa-apa. Mereka tidak pernah mau repot-repot mengecek apakah benar substansi Śīla sudah terbentuk dalam dirinya. Mereka lebih tertarik berdebat teori-teori Dharma yang cuma hafalan atau mempelajari teknik meditasi yang muluk-muluk. Mereka tidak berbeda dengan orang biasa yang bagaikan pecahan genting atau batu meskipun tahu bahwa, dalam latihan Buddhis klasik berunsur tiga, Samādhi dan Prajñā takkan diperoleh apabila tidak memiliki Śīla.

Semua hal ini terjadi karena kurangnya keyakinan kepada Dharma (dan, pada akhirnya, kepada Triratna), sebagaimana Daśadharmaka Sūtra menyatakan: “Keyakinan adalah wahana peningkatan; mereka yang yakin merupakan putra-putra Jina. Oleh sebab itu, seorang yang bijak semestinya selalu mengeratkan keyakinan. … Seseorang yang tidak yakin takkan melahirkan segala dharma yang putih, sama seperti benih yang terbakar takkan melahirkan akar dan tunas.”




Di jilid 36 Mahāparinirvāṇa Sūtra 《大般涅槃經》 (T. vol. 12, № 374 hlm. 575c) Buddha bersabda kepada Bodhisattva Kāśyapa:

「是人雖信佛、法、僧寶,不信三寶同一性相。雖信因果,不信得者。是故!名為“信不具足”
“Kendati orang tersebut meyakini Buddha-, Dharma-, dan Saṅgharatna, namun ia tidak yakin bahwa hakikat dan karakteristik Triratna adalah tunggal. Kendati meyakini sebab dan buah, namun ia tidak yakin akan mendapatnya. Oleh karenanya dinamakan ‘keyakinannya tidak lengkap’!

是人成就不具足信,所受禁戒亦不具足。何因緣故名“不具足”
Setercapainya orang tersebut berkeyakinan tidak lengkap, aturan moralitas (śīla) yang diterimanya juga akan tidak lengkap. Apakah sebab-musababnya maka dinamakan ‘tidak lengkap’?

因不具足故,所得禁戒亦不具足。」
Karena sebabnya tidak lengkap, śīla yang didapatnya juga tidak lengkap.”

Mereka yang mempercayaï eksistensi Triratna, dan pergi berlindung, seringkali tidak mengerti bahwa ketiganya adalah sehakikat dan sekarakteristik. Dalam perspektif Kendaraan Kecil pun sudah diterangkan: Buddha terlahir dari Dharma; Buddha adalah manifestasi dari Dharma. Dengan melaksanakan Dharma (sebagai pemotong nafsu, Latihan Berunsur Tiga), Buddha merealisasi Dharma (sebagai keadaan bebas-nafsu, Nirvāṇa). Hal yang sama demikian pula pada Saṅgha (lihat posting sebelumnya, di sini dan sini). Pada akhirnya, bukan hanya ketiganya yang sehakikat, bahkan semua makhluk juga sehakikat. Semua makhluk memiliki hakikat Kebuddhaan; semua makhluk berpotensi menjadi Buddha.

Dari Dharma, Buddha datang mengajarkan Dharma, dengan Śīla sebagai yang paling dasar (dari Latihan Berunsur Tiga). Dengan kata lain Buddha berusaha menginisiasi semua makhluk ke dalam tubuh Dharma. Namun, kebanyakan Buddhis sekarang lebih tertarik dengan gembar-gembor “latihan meditasi” yang, padahal, sukar membawa kita kepada Pembebasan tanpa dasar Śīla. Mereka tidak yakin bahwa para ārya, yang merupakan bagian dari Saṅgharatna dan sehakikat dengan Buddharatna, berhasil merealisasi tubuh Dharma berkat menerima inisiasi ke dalam tubuh Dharma. Mereka tidak yakin diri mereka, yang sehakikat, pun berpotensi merealisasi kesucian yang sama. Karena tidak mengerti dan menganggap penerimaan Śīla (disiplin) hanya sekadar ritual berjanji melaksanakan śīla (moralitas), Mahāparinirvāṇa Sūtra menyambung:

「復何因緣名“不具足”
“Lagi, apakah sebab-musababnya dinamakan ‘tidak lengkap’?

戒有二種:
Karena śīla ada dua jenis:
一、威儀戒, 1. śīla [serupa] tatakrama,
二、從戒戒。 2. śīla sesuai Śīla.

是人唯具威儀等戒,不具從戒戒。是故!名為“戒不具足”。」
Orang tersebut hanya lengkap dengan śīla yang serupa tatakrama, tidak lengkap dengan śīla sesuai Śīla. Oleh karenanya dinamakan ‘śīlanya tidak lengkap’!”

Inilah portret suram masyarakat Buddhis sekarang, di mana pada umumnya Śīla diambil demi status belaka, tanpa motivasi sungguh-sungguh hendak bertolak dari saṃsāra. Orang mengambil Pañca Śīla supaya dianggap sah sebagai upāsaka/upāsikā; orang mengikuti upasaṃpadā supaya dianggap sah sebagai bhikṣu/bhikṣuṇī. Setelahnya, mereka mungkin akan hidup bermoral sesuai tatakrama karena takut pandangan negatif dari masyarakat. Seorang yang mengikuti upasaṃpadā, misalnya, akan mencukur rambut, mengenakan jubah, makan sekali sehari, tidak memegang uang, dsb. Mereka ber-śīla, tetapi tidak ber-Śīla karena sejak semula memang tidak memiliki substansi Śīla dalam dirinya seperti yang dinyatakan Mahāparinirvāṇa Sūtra selanjutnya:

「復有二種:
“Lagi, ada dua jenis:
一者、作戒。  1. śīla dengan kerja,
二者、無作戒。 2. śīla tanpa-kerja.

是人唯具作戒,不具無作戒。是故!名為“戒不具足”。」
Orang tersebut hanya lengkap dengan śīla dengan kerja, tidak lengkap dengan śīla tanpa-kerja. Oleh karenanya dinamakan ‘śīlanya tidak lengkap’!”

‘Tanpa-kerja’ merupakan terjemahan lama untuk avijñapti (lihat di sini), yakni substansi Śīla yang tak termanifestasi. Bagi mereka yang mengikuti ritual pengambilan Śīla demi status belaka, walau setelahnya kemudian hidup bermoral, maka śīla yang mereka laksanakan hanyalah kerja (vijñapti) fisik dan ucapan saja sebab mereka tidak memiliki substansi Śīla tanpa-kerja (avijñapti). Moralitas tersebut takkan menjadi sebab untuk meraih Pembebasan, tetapi hanya menjadi karma baik yang bersifat duniawi.

Jumat, 01 April 2022

Apakah Śīla Identik dengan Moralitas?

Buddhisme lahir di tengah masyarakat penutur bahasa-bahasa Indo-Arya di India Utara. Karenanya, banyak istilah yang digunakan Buddhisme berasal dari kosakata bahasa-bahasa Indo-Arya seperti Prakerta dan Sanskerta. Kata-kata yang semula bermakna general secara semantis bergeser dalam Buddhisme lantaran mengalami spesialisasi makna. Dari sekian banyak kata, kita ambil saja śīla sebagai contoh di mana gejala polisemi terjadi atasnya.

  1. Dalam penggunaan umum, śīla boleh dipadankan dengan ‘moralitas’ atau mungkin ‘etika’. Teks-teks Buddhis kadang masih menggunakan śīla dengan makna umum ini, beserta adjektiva turunannya: suśīla (‘bermoral’ — juga diserap ke bahasa Indonesia menjadi: susila) dan duḥśīla (‘tidak bermoral; imoral’ — serapannya ke bahasa Indonesia akan tetapi mengalami disimilasi fonetis menjadi: dursila). Sayangnya, dalam sebagian besar bahasan Dharma, bukan śīla dengan makna umum ini yang dimaksud oleh Buddha. Kita akan meninjaunya lebih lanjut.

    Dalam penggunaan Buddhis, Śīla tidak selalu bermakna ‘moralitas’. Seorang bhikṣu yang memiliki kebiasaan buruk makan berdecap-decap atau minum berseruput-seruput, menurut Prātimokṣasūtra berbagai mazhab, dikatakan telah melanggar Śīla (yakni sekhiyā/śaikṣā). Apakah karena kekurangannya tersebut lantas kita bisa melabeli bhikṣu itu imoral? Juga apakah kita bisa melabeli seorang bhikṣu imoral jikalau ia mandi setiap hari, sementara menurut Prātimokṣasūtra seorang bhikṣu yang mandi lebih dari sekali per dua minggu melanggar Śīla (yakni pācittika/pāyantika)?

  2. Samanerasikkha


  3. Maka bisa kita lihat penggunaan kata Śīla dalam Buddhisme terspesialisasi sebagai auto-hiponim karena mengandung kesan suatu ‘aturan’ atau ‘disiplin’ (saṃvara). Boleh juga menerjemahinya lebih lengkap: ‘aturan/disiplin moralitas’. Namun, disiplin Buddhis sesungguhnya bukan cuma merupakan norma kebermoralan sebab banyak preksripsi tatakrama yang tercakup di dalamnya, yang tidak terkait dengan moral, bisa jadi bersesuaian dengan norma tatakrama atau sopan-santun masyarakat umum, bisa juga bersifat khas Buddhis (lihat ilustrasi pada pembahasan prakr̥ti śīla vs. prajñapti śīla di sini).

    Dengan makna inilah komponen -śīla pada kata-kata majemuk Upāsakaśīla, Śrāmaṇeraśīla, Bhikṣuśīla, dsb. kita pahami. Śīla di situ bersinonim dengan saṃvara; Śrāmaṇeraśīla, misalnya, berarti Śrāmaṇerasaṃvara (‘disiplin keśrāmaṇeraan’). Kadang-kadang kata śikṣā (‘latihan’) juga digunakan secara sempit sebagai sinonim sehingga kita jumpaï pula bentuk: Śrāmaṇeraśikṣā.

    Mengartikan saṃvara untuk kata Śīla dirasa masih kurang lengkap sebab pranata-pranata sekuler maupun religius lain masing-masing juga memiliki disiplinnya sendiri. Hanya saja masalahnya: apakah disiplin-disiplin tersebut mampu mengarahkan pelaksananya menuju Kebebasan Sejati sebagaimana Śīla agama Buddha? Oleh karena itu, sinonim Śīla yang lebih persis adalah ‘(disiplin) pengarah Pembebasan’, Prātimokṣa (Saṃvara). Makna inilah yang dimaksud oleh Buddha dalam sebagian besar bahasan-Nya tentang Śīla.

    Bab I-21 Mahāprajñāpāramitā Upadeśa, “Makna Śīla Pāramī” 《大智度論・尸羅波羅蜜義》 (T. vol. 25, № 1509 hlm. 153b), dengan tegas membedakan:

    尸羅,秦言:性善。
    Makna śīla dalam bahasa Cina ialah ‘tabiat yang baik’ (kebermoralan; moralitas).

    好行善道,不自放逸——是名尸羅
    Suka melaksanakan jalan kebaikan, tidak berlengah diri — itulah yang dinamakan śīla.

    或受戒行善,或不受戒行善——皆名尸羅
    Entah melaksanakan kebaikan dengan mengambil Śīla (disiplin, dengan Ś kapital), entah melaksanakan kebaikan tanpa mengambil Śīla — semuanya dinamakan śīla.

    尸羅者,略說身·口律儀有八種:不惱害、不劫盜、不邪婬、不妄語、不兩舌、不惡口、不綺語、不飲酒、及 淨命——是名戒。
    [Spesifiknya,] śīla berupa disiplin atas jasmani dan ucapan (kāya-vāk-saṃvara) yang secara ringkas disebutkan berunsur delapan: tidak mengganggu atau mencelakaï, tidak merampas atau mencuri, tidak beraktivitas seksual yang sesat, tidak berucap dusta, tidak berlidah dua, tidak bermulut jahat, tidak mengomong kosong, tidak meminum minuman-keras, dan berpencaharian murni — itulah yang dinamakan Śīla.

    若不護、放捨,是名破戒。破此戒者,墮三惡道中。
    Jikalau tidak dijaga, dengan lengah dilalaikan, itulah yang dinamakan “merusak Śīla”. Perusak Śīla ini akan terjatuh ke tiga jalur kelahiran rendah.

    Mahāprajñāpāramitā Upadeśa mentranskripsikan shih-lo 尸羅 untuk śīla dalam makna moralitas secara umum, dan menterjemahkan chieh 戒 untuk Śīla sebagai disiplin (khususnya disiplin Buddhis, Prātimokṣa Saṃvara). Sambungan untuk petikan di atas pernah kita muat, dan sesungguhnya masih berkelanjutan hingga akhir bab I-21. Pada intinya, Śīla sebagai disiplin (yang diterjemahi menggunakan kata chieh 戒) itulah yang diuraikan di sepanjang bab I-21, I-22, dan I-23.

    Śīla agama Buddha diterima melalui pengambilan (samādāna), sama seperti disiplin pranata-pranata lain — misalnya: jabatan atau profesi tertentu — diterima dengan mengambil sumpah. Hal ini menimbulkan apa yang disebut sebagai “substansi” Śīla yang dibayangkan mengejawantah dalam diri si penerima, yang akan bertahan selama ia menjadi pemegang Śīla dan akan rontok apabila ia merusak Śīla. Inilah salah satu dari empat konotasi Śīla yang dicermati Vinayācārya Tᴀᴏ-ʜsᴜ̈ᴀɴ (lihat posting sebelumnya, yang disertaï contoh-contoh kalimat). Bahkan dalam kata Śīla, yang sudah merupakan sebuah auto-hiponim dengan makna utama 2a seperti di bawah, terdapat lagi polisemi secara horizontal:
    2a. Dharma tentang Śīla (yakni Śīla sebagai disiplin Buddhis),
    2b. substansi Śīla,
    2c. praktik Śīla, dan
    2d. karakteristik Śīla.

    2d. Sema Śīla dengan makna substansi disiplin merupakan yang terpenting dan sudah sering kita bahas teorinya panjang–lebar. Kali ini kita akan sedikit menyinggung makna 2d, yang signifikan secara linguistis. Bab XXIV Upāsaka Śīla Sūtra 《優婆塞戒經・業品》 (T. vol. 24, № 1488 hlm. 1070a) menyatakan:

    一一戒邊,多業·多果故。
    Sebab, dari sisi [setiap] śīla satu per satu, banyaklah karma [baik] sehingga banyak buahnya.

    眾生無量,戒亦無量;物無量故,戒亦無量。
    Makhluk-makhluk tiada terukur, karenanya Śīla pun tiada terukur; benda-benda tiada terukur, karenanya Śīla pun tiada terukur.

    Śīla dalam kalimat terakhir maksudnya adalah karakteristik Śīla. Pikiran kita yang delusif meliputi seluruh Dharmadhātu tiada terhingga, maka jangkauan pembentukan dan pelaksanaan Śīla (ruang lingkup dari substansi dan praktik disiplin) juga meliputi seluruh Dharmadhātu tiada terhingga (lihat posting terdahulu). Pikiran yang tiada terhingga memiliki buah-buah pikir yang tiada terukur — entah itu berkenaan dengan objek hidup (makhluk-makhluk) maupun objek tak-hidup (benda-benda) — sehingga Śīla untuk mendisiplinkannya juga tiada terukur karakteristiknya.

    Karakteristik Śīla yang tiada terukur, bila diuraikan dengan mendetail, akan menghasilkan unit-unit yang jumlahnya sukar dihitung. Unit-unit itu disebut dengan śīla juga (akan kita eja dengan ś kecil untuk membedakan). Di sini terjadi gejala auto-meronimi, di mana istilah yang sama untuk menyebut keseluruhan digunakan pula untuk bagian-bagiannya yang lebih kecil, dan bisa kita lihat pemakaiannya pada kalimat pertama kutipan di atas.

    Meronim śīla berpadanan dengan śikṣāpada (‘langkah latihan’). Pada kalimat “Dalam Bhikṣu Śīla terdapat 250 śīla”, maksudnya adalah “Dalam disiplin kebhikṣuan terdapat 250 langkah latihan”. Angka 250 hanyalah generalisasi sebab tidak ada yang tahu pasti berapa jumlah langkah latihan seorang bhikṣu persisnya — sesuai penjelasan karena objek-objek dalam ruang lingkup Śīla tiada terukur, maka karakteristik Śīla (langkah-langkah latihan) juga tiada terukur. Buddhisme Tiongkok menandaskan bahwa bhikṣu melaksanakan “3.000 tatakrama dan 80.000 praktik subtil” (三千威儀·八萬細行).