Powered by Administrator

Translate

Minggu, 27 April 2014

DOSA DALAM AGAMA BUDDHA

Kata Pāli dosa memiliki dua padanan dalam bahasa Sanskerta:
  • dveṣa, yang berarti ‘kebencian’, dan
  • doṣa, yang berarti ‘kesalahan’.
Bentuk kedua inilah yang diserap oleh bahasa Indonesia dan, sejak kedatangan agama-agama samawi, kata dosa mengalami perubahan konotasi yang berarti ‘pelanggaran terhadap hukum-hukum/perintah Sang Pencipta, yang menyebabkan kemurkaan-Nya, dan terputusnya hubungan antara si pendosa dengan-Nya’.

Dalam agama Buddha, bagaimana pun, tidak dikenal adanya Tuhan Pencipta. Seseorang tidak berdosa terhadap siapa pun, kecuali dirinya sendiri. Dosa semata-mata hanyalah ‘kecelaan’ (sāvadya) karena perbuatan buruk yang dilakukan seseorang, yang akibatnya akan diterima olehnya sendiri, tanpa campur-tangan sosok Mahakuasa mana pun.

Dosa/kecelaan dapat dibedakan menjadi tiga. Menurut Sarvāstivāda-vinaya Vibhāṣā 《薩婆多毘尼毘婆沙》 (T. vol. 23, № 1440 hlm. 514a):

凡犯罪有三種:
Segala kecelaan ada tiga jenis:
一、犯業道罪  Kecelaan sehubungan dengan karmapatha (karmapathika sāvadya).
二、犯惡行罪  Kecelaan karena kelakuan buruk (durācāra sāvadya).
三、犯戒罪   Kecelaan karena pelanggaran Śīla (sāṃvarika sāvadya).

1.須提那。
Tentang Sudinna.
 
於三罪中,得犯惡行罪,婬是惡法故。
無業道罪,自己妻故。
無犯戒罪,佛未結戒故。
Di antara ketiga kecelaan, ia hanya melakukan kecelaan karena kelakuan buruk, sebab hubungan seksual merupakan dharma yang tak-baik (akuśala).
Ia tidak melakukan kecelaan sehubungan dengan karmapatha, sebab ia berhubungan dengan istrinya sendiri.
Ia tidak melakukan kecelaan karena pelanggaran Śīla, sebab Buddha belum menetapkan śīla.
 
 
2.林中比丘。
Tentang seorang bhikṣu di hutan.
 
得二罪:
得惡行罪,婬是惡法故;
得業道罪,雌獼猴屬雄獼猴故。
不得犯戒罪,佛未結戒故。
Ia melakukan dua jenis kecelaan:
  • kecelaan karena kelakuan buruk, sebab hubungan seksual merupakan dharma yang tak-baik;
  • kecelaan sehubungan dengan karmapatha, sebab kera betina itu adalah istri seekor kera jantan.
Ia tidak melakukan kecelaan karena pelanggaran Śīla, sebab Buddha belum menetapkan śīla.



Kasus pertama bhikṣu yang berhubungan seksual terjadi sewaktu Sudinna bersetubuh kembali dengan istrinya. Di India, merupakan kebiasaan yang lazim bagi para petapa (śramaṇa) untuk hidup membujang/sélibat (brahmacarya) setelah meninggalkan kehidupan rumah-tangga. Akan tetapi, sesungguhnya tidak ada suatu aturan tunggal yang pasti, yang mengikat/berlaku untuk seluruh sekte śramaṇa. Berbagai sekte śramaṇa memiliki sistém ajaran yang berbeda-beda, dan masing-masing dapat dikatakan merupakan agama tersendiri-sendiri (misalnya: Buddhisme, Jainisme, dsb.). Pada saat itu Buddha sendiri juga belum menetapkan śīla apa pun bagi bhikṣu-bhikṣu-Nya sehingga, ketika Sudinna berhubungan seksual, ia hanya dikatakan berdosa/melakukan kecelaan karena kelakuan buruk.

Sesudah peristiwa tersebut, untuk pertama kalinya ditetapkanlah śīla: bhikṣu mana pun yang berhubungan seksual, telah melakukan pelanggaran pārājika. Namun, kasus-kasus yang terjadi berikutnya mengharuskan bunyi aturan ini direvisi. Pada kasus kedua, seorang bhikṣu yang tinggal di hutan bersetubuh dengan seekor kera betina. Ia pun hanya dinyatakan melakukan kecelaan sehubungan dengan karmapatha (yakni: perzinahan), di samping kecelaan karena kelakuan buruk. Ia tidak melanggar Śīla sebab, setelah kasusnya tersebut, barulah bunyi aturan pārājika itu disempurnakan: bukan hanya hubungan seksual dengan manusia, tetapi sampai dengan hewan pun merupakan pelanggaran pārājika.

Sejak saat itu aturan ini menjadi final sehingga siapa pun yang mengambil disiplin kebhikṣuan, lalu melakukan hubungan seksual, maka secara otomatis ia melakukan kecelaan karena pelanggaran Śīla di samping dua kecelaan lainnya. Selanjutnya, secara berangsur-angsur Buddha mulaï menetapkan berbagai aturan bagi para bhikṣu: baik yang bersifat perintah (cāritra śīla 作持戒) — yang jika tidak dilakukan merupakan pelanggaran Śīla —; maupun yang bersifat larangan (vāritra śīla 止持戒) — yang jika dilakukan merupakan pelanggaran Śīla.
 

Selasa, 22 April 2014

Ruang Lingkup Śīla ; Tiga Pandangan Berbeda mengenaï Substansi Śīla: Sarvāstivāda, Satyasiddhi, dan Yogācāra

Tao-hsuanarma, yang menjadi penyebab kita terus berada dalam saṃsāra, yang kita lakukan sejak waktu yang tak berawal hingga keberadaan jasmani dan batin kita dalam kehidupan sekarang, sungguh tak terhitung. Seandainya karma memiliki wujud fisik, seluruh ruang angkasa pun takkan cukup menampungnya. Karma bermula dari pikiran, dan pikiran kita yang delusif meliputi seluruh Dharmadhātu. Maka jangkauan pembentukan dan pelaksanaan Śīla juga meliputi seluruh Dharmadhātu — baik terhadap objek hidup maupun objek tak-hidup, baik terhadap makhluk biasa maupun para suci. Pengertian ini haruslah benar-benar kita pahami. Bagaimana substansi Śīla dapat terbentuk, serta bagaimana kelak kita dapat mempraktekkan Śīla apabila, saat menerima Śīla, kita tidak mengetahui apa yang merupakan ruang lingkupnya?

Menerima Śīla berarti mengubah kecenderungan untuk terus berbuat karma buruk, dan beralih kepada kemurnian moral, sehingga benih yang baik bertumbuh dan menjadi dasar tercapainya Kebuddhaan. Sewaktu seseorang menerima Śīla, kehendaknya mendorongnya untuk memutuskan segala pikiran sesat dan tidak berbuat kejahatan lagi. Pada saat itu seluruh Dharmadhātu, yang juga merupakan ruang lingkup dari Dharma, tergetar. Awan kebenaran Dharma akan berhimpun menaunginya, serta menghujani dan berdiam memenuhi dirinya. Afinitas antara Dharma dengan dirinya itulah yang menimbulkan karma, dan karma tersebut memiliki substansi.

Jadi, substansi Śīla tak lain adalah substansi karma ketika melakukan perbuatan Penerimaan Śīla. Substansi Śīla yang termanifestasi (saṃvara vijñapti) dapat ditangkap melalui organ penglihatan dan pendengaran, nampak dalam aktivitas-aktivitas jasmani (misalnya: berlutut, bernamaskāra, dsb.) maupun ucapan (misalnya: menjawab pertanyaan, mengulangi rumusan Perlindungan, mengucap ikrar, dsb.) sewaktu mengambil Śīla. Aktivitas-aktivitas jasmani dan ucapan akan selesai dengan segera, dan tidak memiliki daya untuk mencegah kesalahan dan menghentikan kejahatan begitu selesai dilakukan. (Maka dapat kita pahami: dengan sekadar mengucap janji — yang merupakan aktivitas ucapan — seseorang tidak serta-merta memperoleh Śīla.) Untuk itu, diperlukan substansi Śīla yang tak termanifestasi (saṃvara avijñapti), yang dapat bersinambung terus sejak terbentuk hingga akhir (misalnya: hingga seumur hidup atau selama jangka waktu tertentu), yang tidak terpengaruh aktivitas keempat skandha penyusun mental (perasaan, pencerapan, bentukan, kesadaran). Bentukan dapat bersifat baik (kuśala 善), tidak baik (akuśala 不善), atau tak-pasti/netral (avyākr̥ta 無記); tiga skandha lainnya bersifat netral; sedangkan saṃvara avijñapti semata-mata hanya bersifat baik.

Lebih lanjut, saṃvara vijñapti hanya merupakan sebab yang dapat mengundang buah/akibat karma di masa depan. Saṃvara avijñapti, sebaliknya, di samping dapat mengundang akibat karma di masa depan, juga memiliki kemampuan untuk mencegah kesalahan dan menghentikan kejahatan. Sepanjang avijñapti tersebut bertahan, kemampuan ini akan berkembang dari momen ke momen (sehingga karma baik seseorang juga dapat berkembang). Namun, kalau avijñapti itu rusak (misalnya, karena ia melepas Śīla 捨戒 — hal ini akan kita bahas nanti), maka kemampuan ini juga hilang. Hanya akibat karma (yang baik) di masa depan saja, yang datang dari substansi Śīla yang terbentuk sewaktu melakukan perbuatan Penerimaan Śīla, yang dapat berbuah.


Mengenaï esensi dari saṃvara avijñapti, paling tidak ada tiga variasi pandangan mazhab yang berbeda-beda. [Tentang penggolongan mazhab-mazhab, lihat Hsing-shih ch’ao 《行事鈔》, T. vol. 40, № 1804 hlm. 96b.] Dalam Szŭ-fên-lü hsing-shih ch’ao tzŭ-ch’ih chi 《四分律行事鈔資持記》 (T. vol. 40, № 1805 hlm. 157b), yang merupakan komentar Vinayācārya Ling-chih Yüan-chao 靈芝元照 dari dinasti Sung atas Hsing-shih ch’ao, ketiga pandangan ini ditautkan pada:

  1. Mazhab-mazhab yang meyakini realitas dari segala dharma 實法宗
Mazhab-mazhab ini berpegang bahwa segala yang terkondisi tidak kekal, merupakan penderitaan, dan tanpa-aku. Segala fenomena terbentuk karena sebab (hetu 因) dan pendukung (pratyaya 緣). Yang disebut “diri” tidak lain hanyalah kumpulan dari berbagai faktor dasar (dharma 法). Diri ini pada hakikatnya kosong tanpa-aku. Namun, faktor-faktor dasar pembentuknya adalah benar-benar riil/ada. Salah satu mazhab terkenal yang menganut pandangan ini ialah Sarvāstivāda.

Dalam sistém abhidharma Sarvāstivādin, kāya vijñapti dan vāk vijñapti digolongkan sebagai materi (rūpa 色), masing-masing di bawah basis/landasan objek penglihatan (rūpāyatana 色處 atau 色入 pada terjemahan lama) dan objek pendengaran (śabdāyatana 聲處 atau 聲入) karena keduanya dapat dilihat dan didengar. (Pandangan yang mirip dianut juga oleh mazhab-mazhab Vātsīputrīya.)

Kāya avijñapti dan vāk avijñapti, karena korelasinya dengan kāya vijñapti dan vāk vijñapti, yang timbul dengan bergantung pada empat elemen primer (tanah, air, api, dan angin), digolongkan sebagai materi juga. Inilah yang menjadi rūpa ke-11, avijñapti rūpa 無表色, dalam klasifikasi materi menurut abhidharma Sarvāstivādin. Avijñapti rūpa adalah satu-satunya materi yang ada di bawah basis objek pemikiran (dharmāyatana 法處 atau 法入). Karena tidak terpengaruh aktivitas keempat skandha penyusun mental jugalah yang menjadi alasan, secara sederhana, untuk menggolongkan avijñapti sebagai materi.

  1. Mazhab-mazhab yang menganggap bahwa segala dharma hanyalah penamaan semu 假名宗
Mazhab-mazhab ini berpandangan bahwa bukan hanya diri yang kosong, faktor-faktor dasarnya pun kosong. Segala dharma tidak benar-benar nyata, hanya eksis untuk sementara. Secara relatif hanya dharma sekaranglah yang dapat dikatakan “ada”. Dharma lampau telah berlalu, sedangkan dharma mendatang belum tiba. Dengan bergulirnya waktu, dharma sekarang akan kedaluwarsa dan menjadi dharma lampau; dharma mendatang pun dengan segera menjadi dharma sekarang. Menurut mazhab-mazhab ini, penyebutan “dharma” hanyalah penamaan semu (prajñapti 假名) untuk menyesuaikan dengan pemahaman/kebenaran duniawi (saṃvr̥ti satya 世諦), sebab dalam kebenaran tertinggi (paramārtha satya 第一諦) sesungguhnya tiada dharma sama sekali. Contoh penganutnya adalah mazhab Dharmaguptaka, atau juga pandangan yang dipegang Bhadanta Harivarman, pengarang Satyasiddhi Śāstra 《成實論》 (T. № 1646).

Bagi mazhab-mazhab yang meyakini realitas dari segala dharma, suatu perbuatan baru disebut karma bilamana terdapat dua komponen: kehendak (cetanā 思) serta tindakan yang dilakukan berdasarkan dorongan kehendak tersebut (cetayitvā 思所作). Perbuatan pikiran hanyalah karma yang berupa kehendak (cetanā karma 思業) sehingga bukan merupakan karma sebenarnya. Cuma perbuatan jasmani dan ucapanlah yang merupakan karma sebenarnya karena, selain adanya kehendak, juga merupakan karma berupa tindakan yang dilakukan setelah berkehendak (cetayitvā karma 思已業). Dari kesepuluh jalan perbuatan (karmapatha 業道, lihat http://tinyurl.com/neaykvv), tiga perbuatan pikiran — barangkali lebih sesuai disebut “tindakan pikiran” saja sebab bukan merupakan perbuatan/karma yang sebenarnya — hanyalah karmapatha, yang merupakan wilayah pengelanaan dari kehendak; sedangkan tujuh lainnya merupakan karmapatha sekaligus karma, yang memiliki aspek vijñapti dan avijnapti. Perbuatan pikiran, karena tidak termanifestasi kepada orang lain, tidak memiliki aspek vijñapti dan, secara otomatis, juga tidak membentuk avijñapti.

Berbeda dengan pandangan mazhab-mazhab yang meyakini realitas dari segala dharma, menurut Satyasiddhi Śāstra tindakan pikiran (=cetanā karma) sudah merupakan karma yang sebenarnya, walaupun tanpa disertaï cetayitvā karma. Dari kesepuluh jalan perbuatan, ketamakan, kedengkian, dan pandangan sesat memiliki aspek vijñapti karena, meski tidak termanifestasi kepada orang lain, tetapi termanifestasi dalam batin sendiri. Alhasil, perbuatan pikiran pun membentuk avijñapti.

Semua karma memiliki esensi kehendak karena, setelah berkehendak, seseorang melakukan tindakan, baik melalui jasmani, ucapan, atau pikiran. Kehendak merupakan salah satu fungsi mental (caitasika 心所) atau bentukan yang bersekutu dengan batin/kesadaran (citta-saṃprayukta saṃskāra 心相應行). Jadi, esensi kāya vijñapti dan vāk vijñapti bukan hanya materi, melainkan juga batin.

Bagaimanakah esensi dari avijñapti? Avijñapti tidak cocok digolongkan sepenuhnya sebagai materi sebab materi yang nyata tersusun dari elemen-elemen primer dan objek-objek yang memiliki wujud, bersifat lembam, tertentang, dan dapat ditangkap oleh lima kesadaran inderawi. Avijñapti juga tidak cocok digolongkan sepenuhnya sebagai batin sebab batin memiliki kerja mengetahui dan mempertimbangkan; kadang terfokus, kadang kabur; kadang diliputi kebijaksanaan, kadang diliputi kebodohan; dapat bersifat baik, tidak baik, atau netral; dan merupakan penghasil akibat. Maka dalam sistém Satyasiddhi, avijñapti dengan terpaksa diklasifikasikan sebagai bukan keduanya 強號二非 atau, dengan kata lain, merupakan bentukan yang tidak bersekutu dengan batin/kesadaran (citta-viprayukta saṃskāra 心不相應行).

  1. Mazhab-mazhab dari Ajaran Sempurna 圓教宗
Mazhab-mazhab ini mempersatukan ajaran-ajaran temporer dari Tiga Kendaraan menuju ajaran sejati Kendaraan Tunggal berdasarkan Mahāparinirvāṇa Sūtra 《大般涅槃經》 (T. № 374), dan dalam pandangannya banyak dipengaruhi oleh idealisme Yogācāra/Vijñaptimātra. Inilah yang dianut oleh Sekolah Vinaya di Cina, terutama dari silsilah Nan-shan 南山律宗 yang dibawakan oleh Vinayācārya Tao-hsüan 道宣律師 (596–667).

Menurut kaum Yogācārin, tindakan jasmani dan ucapan bukanlah substansi karma yang sebenarnya sebab keduanya, pada hakikatnya, bersifat netral sehingga tak dapat mengundang akibat karma di masa depan. Substansi karma semata-mata hanyalah kehendak, dan kehendak dibedakan menjadi tiga:
  1. Kehendak pertimbangan (gati cetanā 審慮思)

    Merupakan kehendak berupa pertimbangan-pertimbangan terawal yang muncul sebelum berbuat.

  2. Kehendak penetapan (niścaya cetanā 決定思)

    Merupakan kehendak berupa kepastian dalam hati, berniat untuk melakukan suatu perbuatan.

  3. Kehendak penggerakan (kiraṇa cetanā 動發勝思)

    Merupakan kehendak untuk menggerakan/mengarahkan jasmani atau ucapan, yang muncul tepat saat akan bertindak, baik dalam perbuatan baik maupun buruk.


Kehendak pertama dan kedua adalah substansi dari perbuatan pikiran; kehendak ketiga adalah substansi dari perbuatan jasmani dan ucapan. Dalam melakukan perbuatan jasmani, katakanlah, pembunuhan, dua komponen memang harus ada: kehendak pembunuhan dan tindakan pembunuhan karena dorongan kehendak tersebut. Akan tetapi, kehendak itu sendiri dapat dibedakan menjadi: kehendak/niat untuk membunuh (=perbuatan pikiran) dan kehendak untuk menggerakan tangan akan membunuh (=perbuatan jasmani). Jadi, sesungguhnya terdapat dua perbuatan yang dilakukan sekaligus di sini.

Lebih lanjut, dalam sistém Yogācāra, kehendak mempunyai benih karma (bīja 種子) yang tersimpan dalam kesadaran ke-8, gudang kesadaran (ālaya vijñāna 阿賴耶識). Sewaktu melakukan perbuatan Penerimaan Śīla, kehendak akan terpresentasi (samudācāra 現行), menampilkan kāya vijñapti dan vāk vijñapti yang sesungguhnya hanyalah penamaan semu. Kekuatan kesériusan dari kehendak, yang merupakan sebuah fungsi mental yang bersekutu dengan kesadaran pikiran (manaḥ saṃprayukta 意識相應), mengukupi (vāsayati 熏) benih yang tersimpan di gudang kesadaran. Benih itu akan bersinambung dan memiliki kemampuan untuk mencegah kesalahan dan menghentikan kejahatan, terpresentasi membentuk avijñapti rūpa yang juga merupakan materi semu. Sementara kāya vijñapti dan vāk vijñapti merupakan materi semu yang ada di bawah basis objek penglihatan dan objek pendengaran, avijñapti rūpa ada di bawah basis objek pemikiran, dan kini disebut dengan istilah baru “materi yang tercetus karena penerimaan” (samādānika rūpa 受所引色) untuk menghindari kerancuan.

Jadi, substansi Śīla yang termanifestasi tidak lain adalah kehendak (yang melalui presentasi membentuk materi semu: vijñapti rūpa); sedangkan substansi Śīla yang tak termanifestasi adalah benih dari kehendak, yang tersimpan dalam gudang kesadaran (yang melalui presentasi membentuk materi semu: samādānika rūpa). Dengan kata lain, dalam sistém Yogācāra substansi Śīla sepenuhnya memiliki esensi batin/kesadaran.


【CATATAN:】

Seperti apa sebenarnya pandangan awal mazhab Dharmaguptaka mengenaï substansi Śīla tidaklah kita ketahui dengan persis. Selain terjemahan Vinaya Piṭaka 《四分律》 (T. № 1428) dan sebuah Dīrgha Āgama 《長阿含經》 (T. № 1) dalam Tripiṭaka Tionghoa, adalah sulit untuk mengidentifikasikan dengan pasti — kalaupun ada — literatur lain yang berafiliasi dengan Dharmaguptaka.

Sebuah teks, *Śāriputra Abhidharma Śāstra (Shê-li-fu a-p’i-t’an lun 《舍利弗阿毘曇論》, T. № 1548), diyakini oleh beberapa ahli modern sebagai kitab Dharmaguptaka karena pembagiannya mirip dengan struktur abhidharma lima-bagian yang disebutkan dalam Dharmaguptaka Vinaya (T. vol. 22, № 1428 hlm. 968b). Dalam bagian pertamanya, “Sapraśnaka” 〈問分〉 (T. vol. 28, № 1548 hlm. 526c), kita dapat menemukan kāya-vāk-asaṃvara-avijñapti 身口非戒無教 serta sāsravā kāya-vāk-saṃvara-avijñapti 有漏身口戒無教 di antara materi-materi yang tidak terlihat dan tidak tertentang (anidarśana-apratigha rūpa 不可見無對色), yang ada di bawah basis objek pemikiran (dharmāyatana 法入). Jadi, menurut teks ini avijñapti digolongkan sebagai materi.

南山律宗
Akan tetapi, sebagian isi dari Shê-li-fu a-p’i-t’an lun memiliki kesesuaian juga dengan pandangan Mahāsāṅghika. Struktur abhidharma lima-bagian pun disebutkan pula dalam Vinaya Mātr̥kā 《毘尼母經》 (T. vol. 24, № 1463 hlm. 818a), yang oleh sebagian ahli dianggap berasal dari mazhab Haimavata. Di samping itu, Mahāprajñāpāramitā Upadeśa 《大智度論》 (T. vol. 25, № 1509 hlm. 70a) menyatakan bahwa kaum Vātsīputrīya telah melakukan redaksi/pembacaan teks yang kini dikenal sebagai Śāriputra Abhidharma. Tampaknya berbagai mazhab memiliki teks masing-masing yang menggunakan judul umum “Śāriputra Abhidharma” meski isinya mungkin tidak persis sama.

Silsilah Nan-shan 南山律宗, bagaimana pun, memang berdasarkan Dharmaguptaka Vinaya dan, kadang-kadang, menggunakan tulisan-tulisan Sarvāstivāda sebagai pelengkap; akan tetapi, dalam hal pandangan, lebih mengikuti Ajaran Sempurna berdasarkan Mahāparinirvāṇa Sūtra.

Jumat, 21 Maret 2014

Substansi Śīla dalam Agama Buddha: Vijñapti dan Avijñapti

所以別解脱戒,人並受之。及論明識,止可三五。
Prātimokṣa Saṃvara (dalam arti luas, meliputi Śīla untuk bhikṣu/bhikṣuṇī maupun upāsaka/upāsikā) semua orang dapat menerimanya. Akan tetapi, yang benar-benar mengerti [maksud atau makna penerimaan Śīla] paling-paling hanya tiga atau lima.

皆由先無通敏,不廣咨詢。
Semua ini dikarenakan sebelumnya tidak memiliki pemahaman umum, apalagi melakukan penelaahan ekstensif.

致令正受,多昏體相,盲夢心中,縁成而已。
Sehingga ketika tiba waktunya penerimaan Śīla, dengan pemahaman yang kabur tentang substansi dan karakteristik [dari Śīla yang diambil], kebanyakan orang hanya ikut-ikutan secara membuta dan asal, lalu setelahnya selesai begitu saja.

及論得不,渺同河漢。
Jikalau ditanyakan apakah mereka memperoleh Śīla, maka hal itu amatlah meragukan (atau: mereka sendiri pun tak dapat memastikannya).

—— Szŭ-fên-lü shan-fan pu-ch’üeh hsing-shih ch’ao 《四分律刪繁補闕行事鈔》
(T. vol. 40, № 1804 hlm. 51c)


Dalam sebuah upacara transmisi Śīla, pemohon śīla akan memperoleh substansi Śīla, yang tak lain adalah Dharma para suci yang mengejawantah dalam dirinya. Substansi tersebut akan menjadi daya pendorong yang mencegahnya melakukan kesalahan, dan menghentikannya berbuat kejahatan. Daya ini berasal dari kekuatan ikrarnya sendiri. Misalkan, seseorang yang menerima lima śīla, yang berikrar untuk tidak membunuh makhluk hidup, akan terkendalikan tindakannya sehingga ia mampu menghindari pembunuhan walaupun ia sangat tidak menyukaï musuhnya.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, substansi Śīla hanya dapat diperoleh dari guru yang memiliki silsilah Śīla yang valid. Kita tidak mungkin memohon śīla dari seseorang yang tertahbis dalam silsilah yang tidak kredibel (misalnya, “bhikṣu” dari aliran sempalan yang menciptakan sistém penahbisan sendiri atau membuat versi Prātimokṣa sendiri). Tahbisannya sendiri tidak bersumber dari Buddha; bagaimana bisa ia mentransmisikan Śīla yang benar kepada orang lain?

Bahkan sekalipun guru itu berasal dari silsilah yang valid, terbentuknya substansi yang benar dalam diri seorang pemohon juga masih sangat sulit. Di mana-mana sering kita jumpaï sekelompok umat yang secara membuta mengulangi Permohonan Triśaraṇa dan Śīla, ikut-ikutan membaca teks ritual apa adanya, tanpa persiapan apa-apa. Jangankan mengerti karakteristik Śīla secara mendetail — apa saja yang merupakan pelanggaran, apa yang bukan, bagaimana memurnikan diri bila terjadi pelanggaran — pemahaman umum pun tidak mereka miliki, seperti: apa syarat untuk menerima Śīla, siapa yang layak dijadikan guru pembimbing Śīla, dan, yang tak kalah penting: kapan dan bagaimana substansi Śīla terbentuk.

Padahal, substansi Śīla (yang terbentuk melalui upacara transmisi Śīla) merupakan pembeda antara orang yang sudah menerima Śīla dengan yang belum. Tanpa adanya substansi Śīla, seseorang tidak dengan serta-merta disebut “memegang Śīla” walaupun ia menjaga moralitas. Seorang non-Buddhis pun dapat saja hidup bermoral dan menjalankan lima pantangan (tidak membunuh, tidak mencuri, dst.) layaknya seorang Buddhis. Akan tetapi, sepanjang tiadanya substansi Śīla dalam dirinya, bagaimana pun ketatnya ia menjaga moralitas, moralitas tersebut hanya akan menghasilkan karma baik (yang bersifat duniawi) saja, dan takkan menjadi menjadi sebab untuk meraih Pembebasan sebagaimana yang terealisasi oleh para suci.

Selanjutnya jika ditanyakan “apakah melakukan aborsi termasuk melanggar Pañca Śīla Buddhis”, maka jawabannya juga bisa “ya” atau “tidak”. “Ya” bagi mereka yang sudah mengambil Śīla tersebut, dan “tidak” bagi mereka yang memang tidak mengambilnya. Seorang umat awam Buddhis yang hanya berlindung kepada Triratna, tetapi tidak mengambil Pañca Śīla, mungkin saja melakukan aborsi. Ia tidak melanggar Śīla sebab memang tiada substansi Śīla apa pun dalam dirinya, walaupun jelas ia telah melakukan karma buruk yang sangat besar (karena aborsi sama dengan membunuh manusia).

Substansi Śīla juga merupakan pembeda berbagai kelompok siswa-siswi Buddhis: substansi yang terbentuk pada bhikṣu/bhikṣuṇī berbeda dengan yang terbentuk pada śrāmaṇera/śrāmaṇerī(ka) dan upāsaka/upāsikā. Jadi, seseorang disebut bhikṣu bukan hanya karena ia mengenakan jubah kaṣāya atau menjalani gaya hidup kebhikṣuan, tetapi apakah ia memiliki substansi Śīla seorang bhikṣu dalam dirinya atau tidak.

Apakah hakikat substansi Śīla sebenarnya? Kita tahu bahwa dalam agama Buddha, kehendak (cetanā ), itulah yang dinamakan karma, serta tindakan yang dilakukan karena dorongan kehendak (cetayitvā 思所作). Setelah timbulnya kehendak, seseorang melakukan tindakan melalui jasmani (kāya), ucapan (vāk), atau pikirannya (manas). Tindakan jasmani dan ucapan dapat dilihat dan didengar orang lain. Kedua tindakan ini merupakan ekspresi/isyarat yang vijñapti, yakni 表 ‘termanifestasi’ (dalam terjemahan lama: 作 ‘dengan kerja’ atau 教 ‘tertunjukkan’) di luar. Kāya vijñapti tampak pada aktivitas anggota-anggota badan seperti: mengambil, menaruh, menekuk, meregangkan, berjalan, berdiri, duduk, berbaring. Vāk vijñapti tampak pada artikulasi suara berupa kata-kata dan kalimat.

Tindakan-tindakan lahiriah hanya berlangsung sementara. Lantas bagaimanakah potensi untuk berbuahnya karma tercipta bilamana tindakan-tindakan itu berakhir? Ketika seseorang melakukan tindakan karena dorongan kehendak, pada saat yang sama aktivitas pikiran yang mirip dan berkaitan terproyeksikan dalam dirinya, dan timbullah substansi karma 業體 yang bersifat avijñapti 無表 ‘tak termanifestasi’ (atau 無教 ‘tak tertunjukkan’). Substansi karma yang berkaitan dengan kāya vijñapti, yang timbul saat seseorang melakukan tindakan jasmani, disebut kāya avijñapti. Substansi karma yang berkaitan dengan vāk vijñapti, yang timbul saat seseorang melakukan tindakan ucapan, disebut vāk avijñapti.

Substansi karma haruslah terpisah secara tersendiri karena pikiran dinamis dan senantiasa berubah. Avijñapti merupakan impresi/jejak yang tertinggal dan bersifat laten (無作 ‘tanpa kerja’) sehingga dapat terus bersinambung dalam proses berbuahnya karma.
 
Sehubungan dengan śīla, avijñapti dapat digolongkan menjadi tiga kategori:

 
———————————————————————————
1. Saṃvara avijñapti 律儀無表
———————————————————————————

Merupakan avijñapti yang terbentuk saat seseorang memperoleh disiplin (saṃvara) atau śīla-śīla yang baik.

Śīla bukanlah cuma sekadar praktek berpantang. Telah kita singgung bahwa penghindaran diri dari perbuatan buruk tidak dengan serta-merta membuat seseorang disebut “memegang Śīla/disiplin”. Tidak juga Śīla diperoleh dengan sekadar mengucap ikrar. Śīla merupakan dharma yang unik (dharmāntara 別法), yang baru dapat diperoleh apabila memenuhi kondisi spesifik (guru dari silsilah yang benar, kualifikasi penerima, dsb.) dan mengikuti prosedur tertentu (ritual yang valid).

Dalam penerimaan Pañca Śīla, vijñapti-karma tampak dalam aktivitas-aktivitas seperti berlutut, bernamaskāra, membaca teks ritual, menjawab pertanyaan, mengulangi rumusan, dll. Vijñapti-karma mulaï terbentuk dari saat seseorang memasuki lokasi upacara; sedangkan avijñapti-karma baru mulaï terbentuk saat mengulangi rumusan Tiga Perlindungan. Tepat saat seseorang mengucapkan suku-kata terakhir dari ulangan ketiga, maka baik vijñapti- maupun avijñapti-karma menjadi sempurna. Pada momen berikutnya sesaat kemudian, vijñapti-karma berakhir, sedangkan avijñapti-karma tertinggal. Avijñapti inilah yang menjadi substansi Śīla yang tak termanifestasi, dan akan tetap tinggal baik saat seseorang sadar ataupun tak sadar. Saṃvara avijñapti akan menjadi daya pendorong seumur hidup (atau selama jangka waktu tertentu, sesuai ikrar yang dibuat), yang mencegahnya melakukan kesalahan dan menghentikannya berbuat kejahatan.


———————————————————————————
2. Asaṃvara avijñapti 不律儀無表
———————————————————————————

Merupakan avijñapti yang terbentuk saat seseorang memperoleh kontra-disiplin (asaṃvara) atau “śīla-śīla” yang buruk.

Yang dimaksud dengan kontra-disiplin ialah imoralitas, yang merupakan antitesis dari śīla. Ini dapat dijumpaï, misalnya, pada seorang anak yang terlahir dalam keluarga tukang jagal, yang kemudian meneruskan usaha keluarganya menjadi penjagal juga. Atau pada seseorang yang bergabung dengan kawanan bajak laut dan membuat ikrar untuk merompak seumur hidup sebagai profesinya. Juga, misalnya, pada orang yang karena dendam, lalu bersumpah: “Kupertaruhkan nyawaku untuk menghabisi anggota suku itu — bahkan sampai anak, cucu, dan seluruh keturunannya — di mana pun mereka berada.”

Avijñapti yang terbentuk dari hal-hal semacam ini akan menjadi daya pendorong yang mencegah seseorang melakukan kebenaran dan menghentikannya berbuat kebaikan.


———————————————————————————
3. Naivasaṃvara-nāsaṃvara avijñapti 非律儀非不律儀無表
———————————————————————————

Merupakan avijñapti yang tidak berkenaan dengan disiplin, tidak pula dengan kontra-disiplin.

Kedua jenis avijñapti yang dibahas di atas terbentuk ketika melakukan perbuatan yang sangat baik atau sangat buruk, sehubungan dengan adopsi cara hidup/disiplin tertentu. Naivasaṃvara-nāsaṃvara avijñapti lebih sering dijumpaï dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat bersifat baik (tetapi tidak berkenaan dengan disiplin) atau bersifat buruk (tetapi tidak berkenaan dengan kontra-disiplin). Avijñapti ini terbentuk ketika melakukan perbuatan baik menengah atau perbuatan buruk menengah.

Dalam hal perbuatan baik menengah, avijñapti dapat terbentuk:

  • Karena ladangnya 由田
Pemberian kepada ladang jasa (puṇyakṣetra 福田) secara otomatis akan membentuk avijñapti. Avijñapti yang terbentuk, seperti dari mendermakan vihāra atau taman perisitirahatan kepada saṅgha, akan berlangsung terus selama bangunan atau lahan tersebut masih ada.
  • Karena pengambilan 由受
Avijñapti juga terbentuk jika seseorang mengambil ikrar tertentu, misalnya: “Aku bertekad tidak akan makan sebelum bernamaskāra kepada Buddha” atau “Aku bertekad akan memberi dāna tiap sebulan sekali”.
  • Karena seriusnya perbuatan 由重行
Perbuatan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh penuh keseriusan akan membentuk avijñapti. Misalnya: sewaktu seseorang menyembah stūpa dengan melantunkan puji-pujian yang menggetarkan hati sehingga timbul keharuan.

Dalam hal perbuatan buruk, avijñapti terbentuk, misalnya, ketika seseorang dengan emosi yang menyala-nyala memukul orang lain. Perbuatan baik atau buruk tingkat rendah tidak membentuk avijñapti karena kurangnya dorongan kehendak.
 


Jumat, 07 Maret 2014

Substansi Śīla Terbentuk Saat Mengulangi Tiga Perlindungan, Bukan Saat Menyatakan Bunyi Śīlanya

 
有言:「受三歸竟,說不殺一戒,爾時得戒。」
Ada yang berpendapat: “Selesai menerima Tiga Perlindungan, lalu mengucapkan satu śīla saja: tidak membunuh, maka pada saat itu Śīla [lengkap seorang upāsaka] diperoleh.” (Pendapat ini berdasarkan kalimat yang sering dijumpaï dalam sūtra-sūtra: “Saya berlindung kepada Buddha, Dharma, dan Bhikṣu-saṅgha. Kiranya Bhadanta memegang pernyataan saya, sebagai upāsaka, yang mulaï saat ini menjaga kehidupan,” dst.)

所以說一戒得五戒者,為能持一戒,五戒盡能持故。有以五戒勢分相著故,兼本意誓受五戒故。
Dengan berpendapat bahwa “mengucapkan satu śīla, kelima śīla diperoleh”, maka apabila seseorang menyatakan sanggup memegang satu śīla, berarti kelima śīla sanggup ia pegang seluruhnya. Hal ini (menurut mereka) karena bagian kekuatan dari kelima śīla saling melekat [antara śīla yang satu dengan yang lain], serta karena maksud awalnya adalah berkomitmen menerima kelima śīla seluruhnya.

有言:「受五戒竟,然後得戒。」
Ada lagi yang berpendapat: “Selesai mengucapkan kelima śīla, barulah Śīla [lengkap seorang upāsaka] diperoleh.”

於諸說中,受三歸已得五戒者,此是定義。
Bagaimana pun, di antara semua pendapat, pernyataan “setelah menerima Tiga Perlindungan, kelima śīla diperoleh” inilah prinsip yang pasti [yang kita anut].

—— Sarvāstivāda-vinaya Vibhāṣā 《薩婆多毘尼毘婆沙》
(T. vol. 23, № 1440 hlm. 506b)
 

Mengikuti pandangan Sarvāstivādin di atas, substansi Śīla secara otomatis terbentuk sewaktu mengulangi tiga kali “aku berlindung kepada Buddha, aku berlindung kepada Dharma, aku berlindung kepada Saṅgha”, bukan pada saat mengulangi langkah latihan (śikṣāpada). Setelah seseorang selesai mengulangi Tiga Perlindungan dalam upacara penerimaan Śīla, ia sudah memperoleh Śīla yang ia mohon. Pengucapan langkah latihan selanjutnya — “aku mengambil langkah latihan untuk menghindari pembunuhan makhluk hidup” (prāṇātipāta vairamaṇa śikṣāpadaṃ samādayāmi), “aku mengambil langkah latihan untuk menghindari pengambilan barang yang tidak diberikan” (adattādāna vairamaṇa śikṣāpadaṃ samādayāmi), dsb. — hanyalah penegasan agar bentuk śīla yang ia ambil menjadi jelas diketahui. 

Akan tetapi, berbeda dengan pandangan Sarvāstivādin/Vaibhāṣika, dalam tradisi Sekolah Vinaya di Cina kita diperbolehkan hanya mengambil satu atau beberapa śīla saja (tidak lengkap lima). Maka sebelum mengulangi Tiga Perlindungan, seseorang hendaknya menyadari dengan sepenuh hati: dalam rangka mengambil śīla manakah Tiga Perlindungan itu akan ia ucapkan — sebab substansi (untuk satu, beberapa, atau lengkap lima) śīla ia peroleh pada momen tersebut. Selanjutnya, untuk menegaskan śīla mana saja yang ia ambil, pada saat gurunya mengucapkan langkah latihan (dalam tradisi Cina tidak digunakan format pengulangan, tetapi berbentuk tanya-jawab), ia harus menjawab: “Ya, saya sanggup memegangnya” untuk yang ia ambil, dan berdiam/tidak menjawab apa-apa untuk yang tidak diambilnya.

Bagaimanakah jika pada saat transmisi Śīla, Tiga Perlindungan lupa diulangkan, dan hanya langkah latihannya yang diucapkan? Menurut Abhidharma Mahāvibhāṣā 《阿毘達磨大毘婆沙論》 (T. vol. 27, № 1545 hlm. 646b):

問:諸有但受近事律儀,不受三歸,得律儀不?
Tanya: Mereka yang hanya menerima disiplin (saṃvara) upāsaka, tetapi tidak menerima Tiga Perlindungan — apakah mereka memperoleh disiplin tersebut?

有說不得。以受三歸,與此律儀,為門、為依、為加行故。
Ada yang berpendapat: Tidak memperoleh. Disiplin tersebut diberikan dengan Tiga Perlindungan sebab itulah pintunya, sandarannya, pendahuluannya (prayoga).

有說不定。謂:若不知先受三歸,後方受戒,信戒師故,便受律儀。彼得律儀;戒師得罪。
Ada yang berpendapat: Tidak tentu. Jikalau tidak mengetahui bahwa “mula-mula harus menerima Tiga Perlindungan, barulah kemudian menerima śīla”, namun karena keyakinannya kepada guru pembimbing Śīla, lalu ia menerima disiplin. Maka ia memperoleh disiplin; akan tetapi, gurunya mendapatkan pelanggaran (yakni duṣkr̥ta, karena lalai memberikan Tiga Perlindungan).

若彼解了先受三歸,後受律儀是正儀式,但憍慢故,不受三歸,作如是言:且應受戒,何用歸信佛、法、僧,為彼慢纏心,雖受不得。
Jikalau ia sudah mengerti bahwa “mula-mula harus menerima Tiga Perlindungan, barulah kemudian menerima śīla” adalah prosedur yang benar, namun karena kesombongannya, ia tidak mau menerima Tiga Perlindungan dan berkata: “Aku seharusnya hanya menerima śīla; apa gunanya berlindung dan yakin kepada Buddha, Dharma, dan Saṅgha?” Maka karena kesombongan yang membelenggu batinnya, meskipun ia menerima, ia tidak memperoleh [disiplin tersebut].


POLISEMI ISTILAH "ŚĪLA"

Dalam percakapan sehari-hari kita sering menggunakan istilah śīla secara bebas. Konotasi manakah yang sebenarnya kita maksud? Sekolah Vinaya di Cina membahasnya dalam empat pokok (lihat seksi pertama dari Szŭ-fên-lü shan-fan pu-ch’üeh hsing-shih ch’ao 《四分律刪繁補闕行事鈔》 [‘Rangkuman mengenaï Tingkah Laku Monastik yang Disempurnakan berdasarkan Dharmaguptaka Vinaya’, T. vol. 40 № 1804] karangan Vinayācārya Tao-hsüan). Keempat pokok bahasan Śīla 戒之四科 itu adalah:
 
 
1. CHIEH-FA 戒法 — Dharma tentang Śīla 
 
Pada kalimat “Buddha menetapkan berbagai Śīla demi kesejahteraan pengikut-pengikut-Nya”, maka Śīla yang dimaksud di sini adalah Dharma tentang Śīla, yang ditetapkan oleh Tathāgata seperti: Pañca Śīla, Aṣṭāṅga Śīla, Daśa Śīla, Upasaṃpanna Śīla, dan Bodhisattva Śīla. Dharma tentang Śīla mencakup fungsi, aplikasi, kebajikan, dll. ajaran tentang Śīla.
 
Jika demikian, apakah Dharma tentang Śīla hanya bersifat teoretis? Menurut Hsing-shih ch’ao (T. vol. 40, № 1804 hlm. 4b):
 
言戒法者,語法而談,不局凡聖。
Yang disebut Dharma tentang Śīla meliputi pembahasan śīla secara Dharma, yang berlaku untuk makhluk biasa (pr̥thagjana) maupun para suci (ārya-pudgala) tanpa penyekatan.

直明此法,必能軌成出離之道。要令受者,信知有此。
Tegasnya dinyatakan: Dharma ini dapat menata jalan pertolakan [dari saṃsāra]. Mereka yang menerimanya hendaklah meyakini dan mengetahui hal ini.

雖復凡聖通有此法,今所受者,就已成而言,名爲聖法。
Meskipun Dharma ini berlaku untuk makhluk biasa maupun para suci, namun yang kini kita terima telah terealisasi [oleh para suci]. Oleh sebab itulah dinamakan Dharma Suci (ārya dharma).
 
Secara Dharma, tujuan utama Śīla ialah membawa kepada keadaan Kebebasan (dari segala penderitaan). Oleh karenanya, walaupun berlaku juga bagi makhluk biasa, Śīla hanya disebut sebagai Dharma-nya para suci. Menerima Śīla berarti menanam benih Pembebasan dalam diri kita; maka janganlah kita meremehkannya. Akan tetapi, Dharma yang kita terima tersebut haruslah kita junjung dan jaga agar menjadi murni bagaikan mutiara cemerlang.
 
Jadi, ketiga konotasi Śīla, yang akan kita bahas berikutnya di bawah, tercakup semua di sini. Dari awal hingga akhir, keseluruhan rangkaian Śīla — yang kita terima (substansi), yang kita junjung dan jaga (praktik), yang murni bagaikan mutiara cemerlang (tampilan) — tiada yang bukan merupakan Dharma.
 
 
2. CHIEH-T’I 戒體 — Substansi Śīla (secara harfiah: ‘Badan Śīla’)
 
Pada kalimat “Waisak kemarin kami menerima Śīla sebagai upāsaka-upāsikā”, maka Śīla yang dimaksud di sini adalah substansi Śīla, yakni Dharma yang kita terima dan mengejawantah dalam diri kita, yang bersifat laten dan menjadi esensi bagi timbulnya karma (baik). Substansi Śīla memampukan kita untuk mencegah kesalahan dan menghentikan kejahatan, serta menciptakan keberkahan dan menimbulkan kebaikan.
 
Pernah kita kutip sebelumnya bahwa substansi Perlindungan (dan Śīla) diwariskan dalam suatu kesinambungan silsilah. Kita hanya dapat menerima substansi Śīla dari guru yang memang memiliki Dharma tersebut. Guru kita harus sudah menerimanya dari gurunya, dan gurunya itu menerimanya dari gurunya lagi. Demikian seterusnya hingga pada gilirannya bersumber kepada Buddha sendiri.
 
Oleh sebab itu, kita harus benar-benar meneliti calon guru yang akan mentransmisikan Śīla kepada kita. Janganlah kita asal mengucapkan Permohonan Triśaraṇa dan Śīla karena ikut-ikutan orang lain. Tidak ada substansi yang terbentuk pada diri kita jika suatu transmisi tidak valid. Bagaimana bisa kita menjadikan seseorang guru bilamana ia sendiri tidak mengerti apakah dirinya memiliki substansi Śīla atau tidak!
 
Lantas, pada momen manakah substansi Śīla terbentuk dalam suatu upacara penerimaan Śīla? Dalam upasaṃpadā bhikṣu/bhikṣuṇī hal itu terjadi saat jñapti-caturtha karman 白四羯磨 selesai dibacakan; dalam transmisi Daśa Śīla, Aṣṭāṅga Śīla, dan Pañca Śīla hal itu terjadi saat rumusan Tiga Perlindungan selesai diulangi oleh pemohon.
 
Menurut Sarvāstivāda-vinaya Vibhāṣā 《薩婆多毘尼毘婆沙》 (T. vol. 23, № 1440 hlm. 506b):
 
若欲受五戒,先受三歸。受三歸竟,爾時已得五戒。
Apabila hendak menerima Lima Śīla, sebelumnya kita menerima Tiga Perlindungan dahulu. Ketika Tiga Perlindungan selesai diterima, pada saat itu kita telah memperoleh Lima Śīla.

所以說五戒名者,欲使前人識五戒名字故。
Bunyi kelima śīla yang diucapkan hanyalah agar nama-nama kelima śīla tersebut diketahui oleh orang di hadapan kita.
 
Pandangan kaum Vaibhāṣika, yang diadopsi oleh Sekolah Vinaya di Cina (lihat http://tinyurl.com/m99xydc), ini bukannya tanpa dasar. Pada masa awal penyebaran Ajaran, sebelum Buddha menetapkan prosedur jñapti-caturtha karman, seseorang cukup mendatangi seorang bhikṣu dan mengulangi rumusan Tiga Perlindungan yang diucapkan calon gurunya itu. Setelah ia selesai mengulanginya, maka ia memperoleh lengkap disiplin kebhikṣuan (upasaṃpadā). Demikian pula para pengikut awam pertama Buddha menjadi upāsaka-upāsikā hanya dengan mengucapkan Perlindungan (dalam Dua atau Tiga Pernyataan, lihat http://tinyurl.com/oz5nnhk) — walaupun kebanyakan teks tidak menjelaskan apakah pada saat itu mereka mendapatkan substansi Perlindungan saja, ataukah substansi Perlindungan dan Śīla. Di kemudian hari mengulangkan Tiga Perlindungan untuk menahbiskan bhikṣu/bhikṣuṇī tidak diizinkan lagi, sehingga hanya kita jumpai dalam prosedur penerimaan Śīla-Śīla yang lebih rendah.
 
 
3. CHIEH-HSING 戒行 — Praktik Śīla
 
Setelah menerima Śīla dan mendapatkan substansinya, maka dengan berbagai upaya kita berlatih untuk menjaga dan tidak melanggarnya, serta memeriksa segala tindakan jasmani, ucapan, maupun pikiran agar teratur sesuai Dharma — inilah yang disebut praktik Śīla.
 
Seperti dalam kalimat “Seperti para arhat yang seumur hidup tidak makan pada waktu yang salah, pada hari upavasatha saya menjalankan śīla untuk tidak makan pada waktu yang salah selama sehari semalam”, praktik Śīla di sini timbul dengan meneguhkan tekad dan bersemangat mengikuti teladan para suciwan terdahulu, sehingga segala tindakan kita sesuai dengan disiplin yang diterima.
 
 
4. CHIEH-HSIANG 戒相 — Karakteristik Śīla (atau Tampilan Śīla)

Karakteristik Śīla dapat dibedakan menjadi dua:

a.  Karakteristik merujuk pada praktik 約行為相
Karakteristik merujuk pada praktik ialah tampilan luar yang terekspresikan karena praktik kita memegang Śīla — perbuatan yang kita ciptakan, tindakan yang kita lakukan (yang bersesuaian dengan Dharma) — sehingga menimbulkan kepujian, seperti yang sering kita dengar dalam kalimat sehari-hari: “Berdasarkan pengamatanku di biara ini, rupanya śīla bagi para bhikṣu untuk tidak tersentuh wanita dalam situasi apa pun”. Meminjam istilah filsafat hukum, seperti yang digagas David Hume, karakteristik berdasarkan praktik adalah das Sein, deskripsi fakta apa adanya.
b.  Karakteristik merujuk pada Dharma 約法為相
Karakteristik merujuk pada Dharma ialah tampilan luar yang seharusnya manifes — apa saja yang harus dipegang, apa pelanggaran yang harus dihindari, apa saja yang dikecualikan, apa yang dibatasi — sebagaimana diajarkan dalam Dharma. Masing-masing dari Pañca Śīla, Aṣṭāṅga Śīla, Daśa Śīla, Upasaṃpanna Śīla, dan Bodhisattva Śīla memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Meminjam istilah filsafat hukum, karakteristik berdasarkan Dharma adalah das Sollen, norma-norma seharusnya yang diharapkan ditaati. Contoh dalam kalimat: “Terdapat śīla dalam Prātimokṣasūtra di mana seorang bhikṣu, ketika pikirannya sedang diliputi birahi, tidak boleh secara sengaja menyentuh atau membiarkan diri tersentuh seorang wanita”.