Powered by Administrator

Translate

Jumat, 21 Maret 2014

Substansi Śīla dalam Agama Buddha: Vijñapti dan Avijñapti

所以別解脱戒,人並受之。及論明識,止可三五。
Prātimokṣa Saṃvara (dalam arti luas, meliputi Śīla untuk bhikṣu/bhikṣuṇī maupun upāsaka/upāsikā) semua orang dapat menerimanya. Akan tetapi, yang benar-benar mengerti [maksud atau makna penerimaan Śīla] paling-paling hanya tiga atau lima.

皆由先無通敏,不廣咨詢。
Semua ini dikarenakan sebelumnya tidak memiliki pemahaman umum, apalagi melakukan penelaahan ekstensif.

致令正受,多昏體相,盲夢心中,縁成而已。
Sehingga ketika tiba waktunya penerimaan Śīla, dengan pemahaman yang kabur tentang substansi dan karakteristik [dari Śīla yang diambil], kebanyakan orang hanya ikut-ikutan secara membuta dan asal, lalu setelahnya selesai begitu saja.

及論得不,渺同河漢。
Jikalau ditanyakan apakah mereka memperoleh Śīla, maka hal itu amatlah meragukan (atau: mereka sendiri pun tak dapat memastikannya).

—— Szŭ-fên-lü shan-fan pu-ch’üeh hsing-shih ch’ao 《四分律刪繁補闕行事鈔》
(T. vol. 40, № 1804 hlm. 51c)


Dalam sebuah upacara transmisi Śīla, pemohon śīla akan memperoleh substansi Śīla, yang tak lain adalah Dharma para suci yang mengejawantah dalam dirinya. Substansi tersebut akan menjadi daya pendorong yang mencegahnya melakukan kesalahan, dan menghentikannya berbuat kejahatan. Daya ini berasal dari kekuatan ikrarnya sendiri. Misalkan, seseorang yang menerima lima śīla, yang berikrar untuk tidak membunuh makhluk hidup, akan terkendalikan tindakannya sehingga ia mampu menghindari pembunuhan walaupun ia sangat tidak menyukaï musuhnya.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, substansi Śīla hanya dapat diperoleh dari guru yang memiliki silsilah Śīla yang valid. Kita tidak mungkin memohon śīla dari seseorang yang tertahbis dalam silsilah yang tidak kredibel (misalnya, “bhikṣu” dari aliran sempalan yang menciptakan sistém penahbisan sendiri atau membuat versi Prātimokṣa sendiri). Tahbisannya sendiri tidak bersumber dari Buddha; bagaimana bisa ia mentransmisikan Śīla yang benar kepada orang lain?

Bahkan sekalipun guru itu berasal dari silsilah yang valid, terbentuknya substansi yang benar dalam diri seorang pemohon juga masih sangat sulit. Di mana-mana sering kita jumpaï sekelompok umat yang secara membuta mengulangi Permohonan Triśaraṇa dan Śīla, ikut-ikutan membaca teks ritual apa adanya, tanpa persiapan apa-apa. Jangankan mengerti karakteristik Śīla secara mendetail — apa saja yang merupakan pelanggaran, apa yang bukan, bagaimana memurnikan diri bila terjadi pelanggaran — pemahaman umum pun tidak mereka miliki, seperti: apa syarat untuk menerima Śīla, siapa yang layak dijadikan guru pembimbing Śīla, dan, yang tak kalah penting: kapan dan bagaimana substansi Śīla terbentuk.

Padahal, substansi Śīla (yang terbentuk melalui upacara transmisi Śīla) merupakan pembeda antara orang yang sudah menerima Śīla dengan yang belum. Tanpa adanya substansi Śīla, seseorang tidak dengan serta-merta disebut “memegang Śīla” walaupun ia menjaga moralitas. Seorang non-Buddhis pun dapat saja hidup bermoral dan menjalankan lima pantangan (tidak membunuh, tidak mencuri, dst.) layaknya seorang Buddhis. Akan tetapi, sepanjang tiadanya substansi Śīla dalam dirinya, bagaimana pun ketatnya ia menjaga moralitas, moralitas tersebut hanya akan menghasilkan karma baik (yang bersifat duniawi) saja, dan takkan menjadi menjadi sebab untuk meraih Pembebasan sebagaimana yang terealisasi oleh para suci.

Selanjutnya jika ditanyakan “apakah melakukan aborsi termasuk melanggar Pañca Śīla Buddhis”, maka jawabannya juga bisa “ya” atau “tidak”. “Ya” bagi mereka yang sudah mengambil Śīla tersebut, dan “tidak” bagi mereka yang memang tidak mengambilnya. Seorang umat awam Buddhis yang hanya berlindung kepada Triratna, tetapi tidak mengambil Pañca Śīla, mungkin saja melakukan aborsi. Ia tidak melanggar Śīla sebab memang tiada substansi Śīla apa pun dalam dirinya, walaupun jelas ia telah melakukan karma buruk yang sangat besar (karena aborsi sama dengan membunuh manusia).

Substansi Śīla juga merupakan pembeda berbagai kelompok siswa-siswi Buddhis: substansi yang terbentuk pada bhikṣu/bhikṣuṇī berbeda dengan yang terbentuk pada śrāmaṇera/śrāmaṇerī(ka) dan upāsaka/upāsikā. Jadi, seseorang disebut bhikṣu bukan hanya karena ia mengenakan jubah kaṣāya atau menjalani gaya hidup kebhikṣuan, tetapi apakah ia memiliki substansi Śīla seorang bhikṣu dalam dirinya atau tidak.

Apakah hakikat substansi Śīla sebenarnya? Kita tahu bahwa dalam agama Buddha, kehendak (cetanā ), itulah yang dinamakan karma, serta tindakan yang dilakukan karena dorongan kehendak (cetayitvā 思所作). Setelah timbulnya kehendak, seseorang melakukan tindakan melalui jasmani (kāya), ucapan (vāk), atau pikirannya (manas). Tindakan jasmani dan ucapan dapat dilihat dan didengar orang lain. Kedua tindakan ini merupakan ekspresi/isyarat yang vijñapti, yakni 表 ‘termanifestasi’ (dalam terjemahan lama: 作 ‘dengan kerja’ atau 教 ‘tertunjukkan’) di luar. Kāya vijñapti tampak pada aktivitas anggota-anggota badan seperti: mengambil, menaruh, menekuk, meregangkan, berjalan, berdiri, duduk, berbaring. Vāk vijñapti tampak pada artikulasi suara berupa kata-kata dan kalimat.

Tindakan-tindakan lahiriah hanya berlangsung sementara. Lantas bagaimanakah potensi untuk berbuahnya karma tercipta bilamana tindakan-tindakan itu berakhir? Ketika seseorang melakukan tindakan karena dorongan kehendak, pada saat yang sama aktivitas pikiran yang mirip dan berkaitan terproyeksikan dalam dirinya, dan timbullah substansi karma 業體 yang bersifat avijñapti 無表 ‘tak termanifestasi’ (atau 無教 ‘tak tertunjukkan’). Substansi karma yang berkaitan dengan kāya vijñapti, yang timbul saat seseorang melakukan tindakan jasmani, disebut kāya avijñapti. Substansi karma yang berkaitan dengan vāk vijñapti, yang timbul saat seseorang melakukan tindakan ucapan, disebut vāk avijñapti.

Substansi karma haruslah terpisah secara tersendiri karena pikiran dinamis dan senantiasa berubah. Avijñapti merupakan impresi/jejak yang tertinggal dan bersifat laten (無作 ‘tanpa kerja’) sehingga dapat terus bersinambung dalam proses berbuahnya karma.
 
Sehubungan dengan śīla, avijñapti dapat digolongkan menjadi tiga kategori:

 
———————————————————————————
1. Saṃvara avijñapti 律儀無表
———————————————————————————

Merupakan avijñapti yang terbentuk saat seseorang memperoleh disiplin (saṃvara) atau śīla-śīla yang baik.

Śīla bukanlah cuma sekadar praktek berpantang. Telah kita singgung bahwa penghindaran diri dari perbuatan buruk tidak dengan serta-merta membuat seseorang disebut “memegang Śīla/disiplin”. Tidak juga Śīla diperoleh dengan sekadar mengucap ikrar. Śīla merupakan dharma yang unik (dharmāntara 別法), yang baru dapat diperoleh apabila memenuhi kondisi spesifik (guru dari silsilah yang benar, kualifikasi penerima, dsb.) dan mengikuti prosedur tertentu (ritual yang valid).

Dalam penerimaan Pañca Śīla, vijñapti-karma tampak dalam aktivitas-aktivitas seperti berlutut, bernamaskāra, membaca teks ritual, menjawab pertanyaan, mengulangi rumusan, dll. Vijñapti-karma mulaï terbentuk dari saat seseorang memasuki lokasi upacara; sedangkan avijñapti-karma baru mulaï terbentuk saat mengulangi rumusan Tiga Perlindungan. Tepat saat seseorang mengucapkan suku-kata terakhir dari ulangan ketiga, maka baik vijñapti- maupun avijñapti-karma menjadi sempurna. Pada momen berikutnya sesaat kemudian, vijñapti-karma berakhir, sedangkan avijñapti-karma tertinggal. Avijñapti inilah yang menjadi substansi Śīla yang tak termanifestasi, dan akan tetap tinggal baik saat seseorang sadar ataupun tak sadar. Saṃvara avijñapti akan menjadi daya pendorong seumur hidup (atau selama jangka waktu tertentu, sesuai ikrar yang dibuat), yang mencegahnya melakukan kesalahan dan menghentikannya berbuat kejahatan.


———————————————————————————
2. Asaṃvara avijñapti 不律儀無表
———————————————————————————

Merupakan avijñapti yang terbentuk saat seseorang memperoleh kontra-disiplin (asaṃvara) atau “śīla-śīla” yang buruk.

Yang dimaksud dengan kontra-disiplin ialah imoralitas, yang merupakan antitesis dari śīla. Ini dapat dijumpaï, misalnya, pada seorang anak yang terlahir dalam keluarga tukang jagal, yang kemudian meneruskan usaha keluarganya menjadi penjagal juga. Atau pada seseorang yang bergabung dengan kawanan bajak laut dan membuat ikrar untuk merompak seumur hidup sebagai profesinya. Juga, misalnya, pada orang yang karena dendam, lalu bersumpah: “Kupertaruhkan nyawaku untuk menghabisi anggota suku itu — bahkan sampai anak, cucu, dan seluruh keturunannya — di mana pun mereka berada.”

Avijñapti yang terbentuk dari hal-hal semacam ini akan menjadi daya pendorong yang mencegah seseorang melakukan kebenaran dan menghentikannya berbuat kebaikan.


———————————————————————————
3. Naivasaṃvara-nāsaṃvara avijñapti 非律儀非不律儀無表
———————————————————————————

Merupakan avijñapti yang tidak berkenaan dengan disiplin, tidak pula dengan kontra-disiplin.

Kedua jenis avijñapti yang dibahas di atas terbentuk ketika melakukan perbuatan yang sangat baik atau sangat buruk, sehubungan dengan adopsi cara hidup/disiplin tertentu. Naivasaṃvara-nāsaṃvara avijñapti lebih sering dijumpaï dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat bersifat baik (tetapi tidak berkenaan dengan disiplin) atau bersifat buruk (tetapi tidak berkenaan dengan kontra-disiplin). Avijñapti ini terbentuk ketika melakukan perbuatan baik menengah atau perbuatan buruk menengah.

Dalam hal perbuatan baik menengah, avijñapti dapat terbentuk:

  • Karena ladangnya 由田
Pemberian kepada ladang jasa (puṇyakṣetra 福田) secara otomatis akan membentuk avijñapti. Avijñapti yang terbentuk, seperti dari mendermakan vihāra atau taman perisitirahatan kepada saṅgha, akan berlangsung terus selama bangunan atau lahan tersebut masih ada.
  • Karena pengambilan 由受
Avijñapti juga terbentuk jika seseorang mengambil ikrar tertentu, misalnya: “Aku bertekad tidak akan makan sebelum bernamaskāra kepada Buddha” atau “Aku bertekad akan memberi dāna tiap sebulan sekali”.
  • Karena seriusnya perbuatan 由重行
Perbuatan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh penuh keseriusan akan membentuk avijñapti. Misalnya: sewaktu seseorang menyembah stūpa dengan melantunkan puji-pujian yang menggetarkan hati sehingga timbul keharuan.

Dalam hal perbuatan buruk, avijñapti terbentuk, misalnya, ketika seseorang dengan emosi yang menyala-nyala memukul orang lain. Perbuatan baik atau buruk tingkat rendah tidak membentuk avijñapti karena kurangnya dorongan kehendak.
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar