Powered by Administrator

Translate

Selasa, 21 Maret 2017

PRAKR̥TI ŚĪLA vs PRAJÑAPTI ŚĪLA

如有二人同共作罪:一者受戒,二不受戒。
Andaikata terdapat dua orang yang sama-sama berbuat dosa: yang satu menerima Śīla (yakni: Prātimokṣa Saṃvara) dan yang kedua tidak.

已受戒者,犯則罪重;不受戒者,犯則罪輕。
Maka dosa yang dilakukan oleh yang sudah menerima Śīla akan lebih berat; sedangkan dosa yang dilakukan oleh yang tidak menerima Śīla akan lebih ringan.

何以故?毀佛語故。
Mengapakah demikian? Sebab ia [yang sudah menerima Śīla] telah mencederaï sabda Sang Buddha.

—— Upāsaka Śīla Sūtra bab XXII, “Lima Śīla”
《優婆塞戒經·五戒品》
(T. vol. 24, № 1488 hlm. 1063c)


Mengulang pembahasan-pembahasan terdahulu (lihat di sini dan sini), bahwa dosa atau kecelaan (sāvadya) dapat dibedakan menjadi beberapa macam. Kecelaan sehubungan dengan jalan karma (karmapathika sāvadya) pasti membawa akibat buruk karena secara alami bertentangan dengan hukum Dharma (contohnya: pembunuhan); sedangkan kecelaan karena kelakuan buruk (durācāra sāvadya) belum tentu. Apa yang buruk — meski sebenarnya tidak bertentangan dengan Dharma — dalam pandangan sebuah masyarakat, bisa jadi tidak apa-apa menurut norma yang berlaku dalam masyarakat lainnya.

Śīla-śīla Buddhis (Prātimokṣa Saṃvara) mengandung kaïdah yang mengatur karmapathika sāvadya maupun yang mengatur durācāra sāvadya. Jadi, kecelaan karena pelanggaran Śīla dapat kita bedakan menjadi dua:

  1. Kecelaan deskriptif (prakr̥ti sāvadya 性罪)
    Merupakan kecelaan yang bertumpang-tindih dengan karmapathika sāvadya. Contohnya dalam pañca śīla Buddhis adalah pembunuhan, pencurian, perzinahan, dan kedustaan, yang secara alami dideskripsikan sebagai kecelaan karena memang merupakan jalan karma buruk (akuśala karmapatha).

  2. Kecelaan preskriptif (pratikṣepana sāvadya atau prajñapti sāvadya 遮罪)
    Merupakan kecelaan yang dijadikan preskripsi/ditetapkan begitu saja karena Buddha memandangnya buruk. Contohnya dalam pañca śīla Buddhis adalah meminum minuman-keras. Disiplin bhikṣu/bhikṣuṇī mengandung lebih banyak lagi preskripsi yang ditetapkan oleh Buddha sebagai kecelaan.

Śīla-śīla yang mengatur prakr̥ti sāvadya disebut śīla deskriptif (prakr̥ti śīla 性戒). Śīla-śīla yang mengatur prajñapti sāvadya disebut śīla preskriptif (prajñapti śīla 遮戒). Prajñapti śīla dapat bersesuaian dengan norma moralitas yang berlaku umum atau dapat juga tidak. Berzinah dengan istri tetangga adalah tercela di mata masyarakat umum maupun di dalam Buddhadharma. Namun, meminum minuman-keras dapat diterima dalam kebudayaan banyak bangsa di dunia. Seorang Buddhis yang meminum minuman-keras tidak tercela di mata masyarakat tempat ia tinggal jika memang hal itu dipandang lazim. Ia juga belum tentu disebut melanggar Śīla di dalam Buddhadharma. Ia baru disebut melanggar Śīla jika ia memang sudah mengambil śīla (langkah latihan) berpantang meminum minuman-keras. Karma buruknya datang semata-mata karena ia melanggar disiplin, dan bukan dari meminum minuman-keras sebab meminum minuman-keras adalah perbuatan yang netral.

pakati sila, pannati sila

Walau demikian, Upāsaka Śīla Sūtra selanjutnya menyambung:

是二種罪,復有輕重。或有人能重罪作輕,輕罪作重。
Kedua jenis kecelaan itu dibedakan lagi menjadi ringan (laghuka) dan berat (guruka). Ada orang yang melakukan dosa berat namun menjadi ringan, [ada pula yang] melakukan dosa ringan namun menjadi berat.

鴦掘魔羅受於世戒,伊羅缽龍受於義戒。鴦掘魔羅破於性重,不得重罪。伊羅缽龍壞於遮制,而得重罪。是故!有人重罪作輕,輕罪作重。
Seperti Aṅgulimāla yang menerima śīla duniawi (laukika śīla), sementara Naga Elāpattra menerima śīla tertinggi (parmārtha śīla). Aṅgulimāla melakukan kecelaan deskriptif, tetapi tidak mendapatkan dosa yang berat. Naga Elāpattra hanya melanggar aturan preskriptif, tetapi mendapatkan dosa yang berat. Oleh karena itu, ada orang yang melakukan dosa berat namun menjadi ringan, [ada pula yang] melakukan dosa ringan namun menjadi berat!

是故!不應以戒同故,得果亦同。
Maka tidaklah mesti bahwa śīla yang sama akan menghasilkan buah yang sama!

Di bawah guru non-Buddhis, Aṅgulimāla mengambil “disiplin” untuk membunuh seribu orang. Avijñapti yang terbentuk pada dirinya adalah asaṃvara avijñapti. Meskipun ia melakukan dosa berat, namun karma buruk tersebut dapat diimbangi dengan karma baik besar dari penerimaan disiplin Buddhis (Prātimokṣa Saṃvara) sehingga ia tidak terjatuh ke alam neraka, tetapi hanya menerima balasan mati karena dilempari batu.

Naga Elāpattra, sebaliknya, pada kehidupan lampaunya merupakan seorang bhikṣu yang meninggalkan rumah-tangga di bawah Buddha Kāśyapa. Suatu ketika, karena terhambat oleh sepokok pohon ketika sedang berjalan, dipatahkannya ranting pohon tersebut. Kendati mematahkan ranting pohon bukanlah suatu perbuatan yang dianggap tak bermoral di mata masyarakat, itu merupakan śīla preskriptif yang telah ditetapkan oleh Buddha Kāśyapa, dan Elāpattra memandangnya remeh. Sebagai bhikṣu, ia tidak mau bertobat menyesali perbuatan tersebut. Akibatnya, setelah meninggal, ia terjatuh ke neraka selama berkalpa-kalpa. Di zaman Buddha Śākyamuni ia baru keluar dan terlahir kembali menjadi seekor naga yang kepalanya ditumbuhi tanaman elā (‘kapulaga’) yang menimbulkan rasa sakit luar-biasa apabila tertiup angin.

Maka dalam menerima disiplin Buddhis, kita jangan menganggap remeh śīla mana pun walaupun śīla itu terlihat kecil dan tidak penting. Bukankah salah satu kriteria terbentuknya disiplin adalah kesediaan kita memeluk segala aspek yang diatur disiplin tersebut? Khusus untuk disiplin perumahtangga, Buddha bahkan memberikan keleluasaan untuk menerima hanya satu atau beberapa langkah latihan saja (tidak lengkap lima). Kita hendaknya mempertimbangkan baik-baik kesanggupan kita sebelum menerimanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar