Powered by Administrator

Translate

Kamis, 07 April 2022

Memperoleh Kelengkapan Śīla Berarti Lahir Baru


具戒行者,心無穢濁,內外清潔;凡人猶瓦石。
Praktisi yang Śīlanya lengkap, batinnya tiada terkeruhkan kotoran, bersih jernih secara internal dan eksternal; sedangkan orang biasa ibarat pecahan genting atau batu.

具戒高行者,若明月珠也;瓦石滿四天下,猶不如真珠一矣。
Ia yang Śīlanya lengkap dan praktiknya tinggi adalah serupa mutiara candrakānta yang cemerlang; pecahan genting atau batu yang memenuhi keempat kolong langit tidaklah sebanding dengan mutiara sejati sebutir saja.

—— Sūtra tentang si Kasta Keempat 《佛說四姓經》
(lihat posting terdahulu)


Masih berkaitan dengan masalah linguistis, terjemahan Tionghoa tertua dari sebuah versi Velāma Sūtra yang dikutip di atas menegaskan Śīla sebagai disiplin yang dimiliki seorang Buddhis berbeda dengan śīla (moralitas) yang dilaksanakan orang biasa. Orang biasa bisa hidup bermoral, tetapi mereka takkan memiliki kelengkapan Śīla. “Śīla yang lengkap” maksudnya Śīla tersebut genap terbentuk dalam diri, Śīla yang dimohon berhasil diperoleh substansinya.

Menerima Śīla berarti menerima benih tubuh Dharma (dharmakāya, lihat di sini). Begitu seseorang berhasil memperoleh substansi Śīla, ia seolah-olah lahir baru: batinnya tiada terkeruhkan kotoran, bersih jernih secara internal dan eksternal. Namun, karena juga masih berupa benih, maka substansi Śīla yang lengkap itu harus senantiasa dijaga dengan praktik yang tinggi sehingga karakteristiknya serupa mutiara candrakānta yang cemerlang — inilah polisemi dari Śīla yang dicermati Vinayācārya Tᴀᴏ-ʜsᴜ̈ᴀɴ (lihat di sini).

Sayangnya amat banyak orang yang mengaku Buddhis — baik perumahtangga maupun monastik — yang menganggap bahwa upacara penerimaan Śīla hanyalah janji untuk melaksanakan moralitas, tanpa signifikansi spiritual apa-apa. Mereka tidak pernah mau repot-repot mengecek apakah benar substansi Śīla sudah terbentuk dalam dirinya. Mereka lebih tertarik berdebat teori-teori Dharma yang cuma hafalan atau mempelajari teknik meditasi yang muluk-muluk. Mereka tidak berbeda dengan orang biasa yang bagaikan pecahan genting atau batu meskipun tahu bahwa, dalam latihan Buddhis klasik berunsur tiga, Samādhi dan Prajñā takkan diperoleh apabila tidak memiliki Śīla.

Semua hal ini terjadi karena kurangnya keyakinan kepada Dharma (dan, pada akhirnya, kepada Triratna), sebagaimana Daśadharmaka Sūtra menyatakan: “Keyakinan adalah wahana peningkatan; mereka yang yakin merupakan putra-putra Jina. Oleh sebab itu, seorang yang bijak semestinya selalu mengeratkan keyakinan. … Seseorang yang tidak yakin takkan melahirkan segala dharma yang putih, sama seperti benih yang terbakar takkan melahirkan akar dan tunas.”




Di jilid 36 Mahāparinirvāṇa Sūtra 《大般涅槃經》 (T. vol. 12, № 374 hlm. 575c) Buddha bersabda kepada Bodhisattva Kāśyapa:

「是人雖信佛、法、僧寶,不信三寶同一性相。雖信因果,不信得者。是故!名為“信不具足”
“Kendati orang tersebut meyakini Buddha-, Dharma-, dan Saṅgharatna, namun ia tidak yakin bahwa hakikat dan karakteristik Triratna adalah tunggal. Kendati meyakini sebab dan buah, namun ia tidak yakin akan mendapatnya. Oleh karenanya dinamakan ‘keyakinannya tidak lengkap’!

是人成就不具足信,所受禁戒亦不具足。何因緣故名“不具足”
Setercapainya orang tersebut berkeyakinan tidak lengkap, aturan moralitas (śīla) yang diterimanya juga akan tidak lengkap. Apakah sebab-musababnya maka dinamakan ‘tidak lengkap’?

因不具足故,所得禁戒亦不具足。」
Karena sebabnya tidak lengkap, śīla yang didapatnya juga tidak lengkap.”

Mereka yang mempercayaï eksistensi Triratna, dan pergi berlindung, seringkali tidak mengerti bahwa ketiganya adalah sehakikat dan sekarakteristik. Dalam perspektif Kendaraan Kecil pun sudah diterangkan: Buddha terlahir dari Dharma; Buddha adalah manifestasi dari Dharma. Dengan melaksanakan Dharma (sebagai pemotong nafsu, Latihan Berunsur Tiga), Buddha merealisasi Dharma (sebagai keadaan bebas-nafsu, Nirvāṇa). Hal yang sama demikian pula pada Saṅgha (lihat posting sebelumnya, di sini dan sini). Pada akhirnya, bukan hanya ketiganya yang sehakikat, bahkan semua makhluk juga sehakikat. Semua makhluk memiliki hakikat Kebuddhaan; semua makhluk berpotensi menjadi Buddha.

Dari Dharma, Buddha datang mengajarkan Dharma, dengan Śīla sebagai yang paling dasar (dari Latihan Berunsur Tiga). Dengan kata lain Buddha berusaha menginisiasi semua makhluk ke dalam tubuh Dharma. Namun, kebanyakan Buddhis sekarang lebih tertarik dengan gembar-gembor “latihan meditasi” yang, padahal, sukar membawa kita kepada Pembebasan tanpa dasar Śīla. Mereka tidak yakin bahwa para ārya, yang merupakan bagian dari Saṅgharatna dan sehakikat dengan Buddharatna, berhasil merealisasi tubuh Dharma berkat menerima inisiasi ke dalam tubuh Dharma. Mereka tidak yakin diri mereka, yang sehakikat, pun berpotensi merealisasi kesucian yang sama. Karena tidak mengerti dan menganggap penerimaan Śīla (disiplin) hanya sekadar ritual berjanji melaksanakan śīla (moralitas), Mahāparinirvāṇa Sūtra menyambung:

「復何因緣名“不具足”
“Lagi, apakah sebab-musababnya dinamakan ‘tidak lengkap’?

戒有二種:
Karena śīla ada dua jenis:
一、威儀戒, 1. śīla [serupa] tatakrama,
二、從戒戒。 2. śīla sesuai Śīla.

是人唯具威儀等戒,不具從戒戒。是故!名為“戒不具足”。」
Orang tersebut hanya lengkap dengan śīla yang serupa tatakrama, tidak lengkap dengan śīla sesuai Śīla. Oleh karenanya dinamakan ‘śīlanya tidak lengkap’!”

Inilah portret suram masyarakat Buddhis sekarang, di mana pada umumnya Śīla diambil demi status belaka, tanpa motivasi sungguh-sungguh hendak bertolak dari saṃsāra. Orang mengambil Pañca Śīla supaya dianggap sah sebagai upāsaka/upāsikā; orang mengikuti upasaṃpadā supaya dianggap sah sebagai bhikṣu/bhikṣuṇī. Setelahnya, mereka mungkin akan hidup bermoral sesuai tatakrama karena takut pandangan negatif dari masyarakat. Seorang yang mengikuti upasaṃpadā, misalnya, akan mencukur rambut, mengenakan jubah, makan sekali sehari, tidak memegang uang, dsb. Mereka ber-śīla, tetapi tidak ber-Śīla karena sejak semula memang tidak memiliki substansi Śīla dalam dirinya seperti yang dinyatakan Mahāparinirvāṇa Sūtra selanjutnya:

「復有二種:
“Lagi, ada dua jenis:
一者、作戒。  1. śīla dengan kerja,
二者、無作戒。 2. śīla tanpa-kerja.

是人唯具作戒,不具無作戒。是故!名為“戒不具足”。」
Orang tersebut hanya lengkap dengan śīla dengan kerja, tidak lengkap dengan śīla tanpa-kerja. Oleh karenanya dinamakan ‘śīlanya tidak lengkap’!”

‘Tanpa-kerja’ merupakan terjemahan lama untuk avijñapti (lihat di sini), yakni substansi Śīla yang tak termanifestasi. Bagi mereka yang mengikuti ritual pengambilan Śīla demi status belaka, walau setelahnya kemudian hidup bermoral, maka śīla yang mereka laksanakan hanyalah kerja (vijñapti) fisik dan ucapan saja sebab mereka tidak memiliki substansi Śīla tanpa-kerja (avijñapti). Moralitas tersebut takkan menjadi sebab untuk meraih Pembebasan, tetapi hanya menjadi karma baik yang bersifat duniawi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar