Arhat Bakkula (Vakkula) merupakan contoh orang yang mencapai Kearhatan berkat mengambil satu śīla. Kisahnya, yang sering diulangi dalam tulisan-tulisan Sekolah Vinaya, terutama bersumber dari bab ke-24 〈重姓品〉 koleksi Damamūrkha Nidāna 賢愚經 (‘Sūtra tentang Yang Arif dan Yang Bodoh’, T. № 202). Nama Bakkula berasal dari asimilasi dva + kula dalam dialek Prakerta dan berarti 重姓 ‘yang memiliki keluarga dobel’. Akan tetapi, dalam versi lain kisahnya, namanya ditafsirkan sebagai 善容 atau 偉形 ‘berpenampilan menarik’ (dari kata vaggu? [Skt. valgu]).
Dalam Bakkula Sūtra 《薄拘羅經》 dari Madhyama Āgama jilid 8 (T. vol. 1, № 26 hlm. 475c) disebutkan:
Bakkula hidup hingga usia yang sangat sepuh. (Beberapa tradisi menyatakan bahwa ia wafat pada umur 160 tahun.) Sepanjang hayatnya ia tidak pernah sakit. Hal itu disebabkan karena 91 kalpa yang lampau, pada zaman Buddha Vipaśyin, sewaktu ia menjadi seorang peramu yang mengumpulkan tanaman obat dan berjual di Kota Bandhumati, ia menghormati saṅgha dan mempersembahkan sebuah haritakī untuk setiap bhikṣu yang sakit. Akibatnya selama 91 kalpa berikutnya ia tidak pernah terjatuh ke jalur rendah, tetapi selalu lahir di surga atau di antara manusia.
Pada zaman Buddha Śākyamuni ia terlahir sebagai putra seorang kaya. Ibunya wafat tidak lama setelah melahirkannya dan ayahnya menikah kembali. Ibu tirinya yang kejam sangat tidak menyukaïnya. Ketika hendak memanggang roti, maka dilemparkannya ia ke dalam tanur. Namun, ayahnya melihatnya dan segera menyelamatkannya. Kedua kalinya, saat hendak merebus daging, Bakkula dimasukkan ke periuk air mendidih yang, ajaibnya, tidak melukaïnya sama sekali. Akhirnya, sewaktu pergi ke sungai, Bakkula, yang saat itu berada dalam gendongan sambil mencengkeram pakaian ibu tirinya, didorong ke air. Lagi-lagi Bakkula tidak tewas, tetapi seekor ikan besar datang menelannya. Ikan itu ditangkap orang dan dijual ke pasar. Secara kebetulan, ayahnya membeli ikan itu dan membawanya pulang. Tatkala perut ikan itu dibelah, Bakkula bukan saja luput dari tusukan pisau, ia bahkan didapati masih bernafas.
Versi dalam Damamūrkha Nidāna, akan tetapi, agak berbeda dan lebih dekat dengan cerita-cerita aṭṭhakathā Pāli. Tidak ada tokoh ibu tiri di sini. Bakkula dikatakan hanyut karena tidak sengaja terlepas dari gendongan ibu kandungnya saat perayaan menyambut kelahirannya diadakan di tepi sungai. Ikan yang menelannya berenang ke hilir dan ditangkap oleh satu keluarga kaya yang tidak memiliki keturunan. Perut ikan itu dibelah, dan keluarga tersebut mengadopsi anak yang ada di dalamnya. Orangtua kandung anak itu akhirnya menemukannya dan mengklaimnya. Terjadilah ketegangan antara kedua keluarga, dan permasalahan ini dibawa ke hadapan raja. Raja memutuskan supaya anak itu diasuh bersama dan menyarankan, apabila ia telah dewasa, masing-masing keluarga menikahkannya dengan seorang gadis sehingga mereka akan mendapat cucu untuk meneruskan garis silsilah masing-masing. Kedua keluarga sepakat mengikuti saran dari raja.
Setelah anak itu dewasa, setelah semua saran raja diturutnya, maka ia pun memohon izin untuk meninggalkan rumah-tangga. Orangtua kandung maupun orangtua angkatnya mengizinkannya. Anak itu menghampiri Buddha, dan Buddha menahbiskannya dengan seruan “Ehi, bhikṣu!” Ia diberi-Nya nama tahbisan: Bakkula. Setelah mendengar instruksi Buddha, tak lama kemudian Bakkula pun berhasil mencapai Kearhatan.
Ānanda lalu bertanya kepada Buddha apakah sebabnya Bakkula terjatuh ke sungai dan ditelan ikan, tetapi tidak mati; malahan dapat bertemu Buddha dan menjadi seorang arhat. Buddha menceritakan bahwa hal itu disebabkan karena 91 kalpa yang lampau Bakkula terlahir sebagai seorang perumahtangga di zaman Buddha Vipaśyin. Sewaktu Buddha Vipaśyin sedang berkhotbah tentang dāna dan śīla, perumahtangga itu meyakininya dengan segenap hati. Ia berlindung kepada Triratna dan mengambil hanya satu langkah latihan, yaïtu menghindari pembunuhan makhluk hidup. Selain itu, ia mendermakan 1 kārṣāpaṇa (jumlah uang yang tidak seberapa) untuk Buddha dan saṅgha.
Maka dapat kita lihat, mengambil disiplin Buddhis secara tidak lengkap pun takkan sia-sia, malah akan menghasilkan buah yang amat besar. Sebaliknya, jikalau kita tidak sudi menerima bahkan satu langkah latihan saja, mustahillah kita akan mendapatkan Pembebasan dari saṃsāra.
Dalam Bakkula Sūtra 《薄拘羅經》 dari Madhyama Āgama jilid 8 (T. vol. 1, № 26 hlm. 475c) disebutkan:
復次!尊者薄拘羅作是說:「諸賢。我於此正法律中,學道已來八十年,未曾有病,乃至彈指頃頭痛者;未曾憶服藥,乃至一片訶梨勒。」若尊者薄拘羅作此說,是謂尊者薄拘羅未曾有法。
Selanjutnya lagi, Bhadanta Bakkula berkata demikian: “Para āyuṣman, di dalam Dharma-Vinaya ini telah 80 tahun aku mempelajari Jalan dan belum pernah mengalami sakit, bahkan hingga pening kepala sejentik jari pun; belum pernah ’ku teringat mengonsumsi obat, bahkan hingga seiris buah manjalawai (haritakī) pun.” Apabila Bhadanta Bakkula berkata demikian, itu memang sungguh dharma yang belum pernah ada yang menakjubkan (āścaryādbhūta dharma), yang terdapat pada dirinya.
Bakkula hidup hingga usia yang sangat sepuh. (Beberapa tradisi menyatakan bahwa ia wafat pada umur 160 tahun.) Sepanjang hayatnya ia tidak pernah sakit. Hal itu disebabkan karena 91 kalpa yang lampau, pada zaman Buddha Vipaśyin, sewaktu ia menjadi seorang peramu yang mengumpulkan tanaman obat dan berjual di Kota Bandhumati, ia menghormati saṅgha dan mempersembahkan sebuah haritakī untuk setiap bhikṣu yang sakit. Akibatnya selama 91 kalpa berikutnya ia tidak pernah terjatuh ke jalur rendah, tetapi selalu lahir di surga atau di antara manusia.
Pada zaman Buddha Śākyamuni ia terlahir sebagai putra seorang kaya. Ibunya wafat tidak lama setelah melahirkannya dan ayahnya menikah kembali. Ibu tirinya yang kejam sangat tidak menyukaïnya. Ketika hendak memanggang roti, maka dilemparkannya ia ke dalam tanur. Namun, ayahnya melihatnya dan segera menyelamatkannya. Kedua kalinya, saat hendak merebus daging, Bakkula dimasukkan ke periuk air mendidih yang, ajaibnya, tidak melukaïnya sama sekali. Akhirnya, sewaktu pergi ke sungai, Bakkula, yang saat itu berada dalam gendongan sambil mencengkeram pakaian ibu tirinya, didorong ke air. Lagi-lagi Bakkula tidak tewas, tetapi seekor ikan besar datang menelannya. Ikan itu ditangkap orang dan dijual ke pasar. Secara kebetulan, ayahnya membeli ikan itu dan membawanya pulang. Tatkala perut ikan itu dibelah, Bakkula bukan saja luput dari tusukan pisau, ia bahkan didapati masih bernafas.
Versi dalam Damamūrkha Nidāna, akan tetapi, agak berbeda dan lebih dekat dengan cerita-cerita aṭṭhakathā Pāli. Tidak ada tokoh ibu tiri di sini. Bakkula dikatakan hanyut karena tidak sengaja terlepas dari gendongan ibu kandungnya saat perayaan menyambut kelahirannya diadakan di tepi sungai. Ikan yang menelannya berenang ke hilir dan ditangkap oleh satu keluarga kaya yang tidak memiliki keturunan. Perut ikan itu dibelah, dan keluarga tersebut mengadopsi anak yang ada di dalamnya. Orangtua kandung anak itu akhirnya menemukannya dan mengklaimnya. Terjadilah ketegangan antara kedua keluarga, dan permasalahan ini dibawa ke hadapan raja. Raja memutuskan supaya anak itu diasuh bersama dan menyarankan, apabila ia telah dewasa, masing-masing keluarga menikahkannya dengan seorang gadis sehingga mereka akan mendapat cucu untuk meneruskan garis silsilah masing-masing. Kedua keluarga sepakat mengikuti saran dari raja.
Setelah anak itu dewasa, setelah semua saran raja diturutnya, maka ia pun memohon izin untuk meninggalkan rumah-tangga. Orangtua kandung maupun orangtua angkatnya mengizinkannya. Anak itu menghampiri Buddha, dan Buddha menahbiskannya dengan seruan “Ehi, bhikṣu!” Ia diberi-Nya nama tahbisan: Bakkula. Setelah mendengar instruksi Buddha, tak lama kemudian Bakkula pun berhasil mencapai Kearhatan.
Ānanda lalu bertanya kepada Buddha apakah sebabnya Bakkula terjatuh ke sungai dan ditelan ikan, tetapi tidak mati; malahan dapat bertemu Buddha dan menjadi seorang arhat. Buddha menceritakan bahwa hal itu disebabkan karena 91 kalpa yang lampau Bakkula terlahir sebagai seorang perumahtangga di zaman Buddha Vipaśyin. Sewaktu Buddha Vipaśyin sedang berkhotbah tentang dāna dan śīla, perumahtangga itu meyakininya dengan segenap hati. Ia berlindung kepada Triratna dan mengambil hanya satu langkah latihan, yaïtu menghindari pembunuhan makhluk hidup. Selain itu, ia mendermakan 1 kārṣāpaṇa (jumlah uang yang tidak seberapa) untuk Buddha dan saṅgha.
- ⚠️ Akibat bederma 1 kārṣāpaṇa: ia terlahir kaya-raya, bahkan memiliki dua keluarga yang menyokong segala kebutuhannya!
- ⚠️ Akibat mempersembahkan buah haritakī untuk bhikṣu yang sakit: selama 160 tahun hidupnya ia tidak pernah sakit sekali pun, bahkan sekadar sakit kepala!
- ⚠️ Akibat berlindung kepada Triratna dan hanya mengambil śīla pantang membunuh: ia berusia panjang dan sampai lima kali (atau tiga kali) lolos dari kematian:
① Dibakar di api tidak terpanggang.
Bahkan akhirnya ia dapat berjumpa seorang Buddha kembali, meninggalkan rumah-tangga, dan merealisasi Kearhatan!
② Dididihkan di air tidak terebus.
③ Diceburkan ke sungai tidak tenggelam.
④ Ditelan ikan tidak tercerna.
⑤ Ditusuk pisau tidak terkena.
Maka dapat kita lihat, mengambil disiplin Buddhis secara tidak lengkap pun takkan sia-sia, malah akan menghasilkan buah yang amat besar. Sebaliknya, jikalau kita tidak sudi menerima bahkan satu langkah latihan saja, mustahillah kita akan mendapatkan Pembebasan dari saṃsāra.
※
「我聲聞中,第一比丘壽命極長,終不中夭,所謂婆拘羅比丘是。」
“Di antara siswa-siswa-Ku, bhikṣu yang terunggul dalam usia panjang, selamanya tidak terjangkau kematian muda, ialah Bhikṣu Bakkula.”
—— Ekottara Āgama, Kelompok Satu.
Dekade ke-5 dari varga IV, “Para Siswa” (弟子品).
Padanan Pāli: AN I.14 (Etadagga Vagga 4).
Dekade ke-5 dari varga IV, “Para Siswa” (弟子品).
Padanan Pāli: AN I.14 (Etadagga Vagga 4).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar