Powered by Administrator

Translate

Selasa, 14 Maret 2017

Terlahir di Surga Tidaklah Lebih Baik daripada Menjadi Manusia

Dalam Sarvāstivāda-vinaya Vibhāṣā 《薩婆多毘尼毘婆沙》 (T. vol. 23, № 1440 hlm. 509b) diceritakan:

如昔一時,大目揵連以弟子有病,上忉利天以問耆婆,正值諸天入歡喜園。爾時,目連在路側立,一切諸天無顧看者。耆婆後至,顧見目連,向舉一手,乘車直過。
Seperti pada suatu ketika dahulu — karena muridnya mengalami sakit — Mahāmaudgalyāyana naik ke Surga Trāyastriṃśa untuk bertanya kepada Jīvaka dan, secara kebetulan, menjumpaï para dewa sedang memasuki Taman Nandanavana. Tatkala itu Maudgalyāyana berdiri di tepi jalan, dan para dewa tiada yang mengacuhkannya. Jīvaka tiba belakangan; ia melihat Maudgalyāyana, lalu mengangkat satu tangannya sambil berlalu mengendaraï kereta.

目連自念:「此本人間是我弟子,而今受天福,以著天樂,都失本心。」
Maudgalyāyana merenung: “Sewaktu menjadi manusia, ia adalah siswaku. Namun kini, setelah menerima pahala dewata, ia melekat pada kesenangan surgawi dan kehilangan batinnya yang semula.”

即以神力,制車令住。耆婆下車,禮目連足。
Maka dengan kekuatan gaibnya dibuatnya kereta itu berhenti. Jīvaka pun turun dari kereta dan bernamaskāra di bawah kaki Maudgalyāyana.

目連種種因緣,責其不可。耆婆答目連曰:「以我人中為大德弟子,是故舉手問訊。頗見諸天,有爾者不?生天以著樂染心,不得自在。是使爾耳。」
Dengan bermacam-macam alasan, Maudgalyāyana menegur ketidakpatutannya. Jīvaka membalas: “Karena sewaktu menjadi manusia saya merupakan siswa Bhadanta, maka saya mengangkat tangan untuk menyapa. Tetapi, cobalah tengok para dewa lainnya — adakah mereka [mempunyaï etiket] seperti itu? Mereka yang terlahir sebagai dewa, batinnya tercemari kemelekatan akan kesenangan sehingga tidak mendapatkan kemerdekaan. Hal inilah yang menyebabkan mereka demikian.”

Dapat kita lihat bahkan tabib Sang Buddha yang terlahir di Surga Trāyastriṃśa, Jīvaka Kumārabhr̥ta, walau telah memperoleh Buah Srotāpatti, tidak dapat mengontrol dirinya secara merdeka. Apalagi dewa-dewa lain yang belum mencapai kesucian apa pun — kebanyakan dari mereka terlena batinnya oleh kesenangan surgawi sehingga melupakan Buddhadharma yang sebelumnya mereka latih. Hal ini serupa dengan orang yang terlahir di alam binatang. Meskipun saat menjadi manusia sebelumnya ia adalah seorang yang cerdas, kini batinnya diliputi kebingungan sehingga sering melakukan tindakan yang bodoh. Oleh sebab itu, dalam melaksanakan śīla-śīla mana pun, seorang Buddhis janganlah bercita-cita untuk terlahir di alam surga.






Upāsaka Śīla Sūtra 《優婆塞戒經》 (T. vol. 24, № 1488 hlm. 1037b) menyatakan:

「善男子。有人勤求優婆塞戒,於無量世如聞而行,亦不得戒。有出家人求比丘戒、比丘尼戒,於無量世如聞而行,亦不能得。何以故?不能獲得解脫分法故;可名修戒,不名持戒。善男子。若諸菩薩得解脫分法,終不造業求生欲界、色無、色界,常願生於益眾生處。」
“Putra berbudi, ada orang yang dengan tekun mencari Śīla upāsaka (memohon Pañca Śīla), lalu selama berkelahiran-kelahiran yang tak terukur melaksanakannya sesuai yang didengarnya, namun juga tidak mendapatkan [substansi] Śīla. Ada pula pravrajita yang mencari Śīla bhikṣu atau Śīla bhikṣuṇī (memohon Upasaṃpadā), lalu selama berkelahiran-kelahiran yang tak terukur melaksanakannya sesuai yang didengarnya, namun juga tidak mendapatkan [substansi] Śīla. Apakah sebabnya? Karena mereka tidak bisa memperoleh bagian Pembebasan. Mereka boleh disebut ‘mengembangkan śīla (moralitas)’, tetapi tidak disebut ‘memegang Śīla (disiplin)’. Putra berbudi, para bodhisattva yang memperoleh bagian Pembebasan takkan pernah melakukan perbuatan demi terlahir di Alam Nafsu Inderawi (kāmadhātu), Alam Dhyāna Bermateri (rūpadhātu), atau Alam Dhyāna Tanpa-materi (ārūpyadhātu); mereka hanya berharap bisa terlahir di mana pun yang dapat menguntungi makhluk lain.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar