Powered by Administrator

Translate

Selasa, 08 Oktober 2019

Diri Sendiri = Objek Berlindung?

Bahwasanya Perlindungan tertinggi adalah kepada Dharma telah disabdakan oleh Buddha sendiri dalam *Viharaṇa Sūtra 《遊行經》 atau ‘Sūtra tentang Perjalanan [Terakhir]’, yang merupakan sūtra ke-2 Dīrgha Āgama (T. vol. 1, № 1 hlm. 15b):

「是故!阿難。當自熾燃,熾燃於法;勿他熾燃!
 當自歸依,歸依於法;勿他歸依!」
  “Oleh sebab itu, Ānanda!
 Jadilah pelita bagi diri sendiri (ātmadīpa),
 jadikan Dharma sebagai pelita (dharmadīpa);
  jangan ada pelita yang lain (ananyadīpa)!
 Jadilah Perlindungan bagi diri sendiri (ātmaśaraṇa),
 jadikan Dharma sebagai Perlindungan (dharmaśaraṇa);
  jangan ada Perlindungan yang lain (ananyaśaraṇa)!”

Namun, di sini tampak penyamaan Dharma kembali: dengan diri sendiri kali ini! Diri manakah yang boleh dijadikan Perlindungan? Diri yang telah menginsafi ketanpadirian. Sarvāstivāda-vinaya Vibhāṣā mengatakan: berlindung kepada Pengakhiran [yang direalisasi] diri sendiri, juga kepada Pengakhiran orang lain — demikianlah “berlindung kepada Dharma”. Diri yang telah menginsafi ketanpadirian mulaï melihat Dharma yang direalisasi oleh Buddha dan para aśaikṣa, hingga pada akhirnya ia merealisasi seutuhnya Dharma itu sendiri.

Dari sepuluh belenggu (saṃyojana) yang mengikat dalam saṃsāra, berpandangan bahwa diri itu nyata (satkāya dr̥ṣṭi) merupakan belenggu pertama. Seseorang yang berhasil mematahkan pandangan tersebut akan mencapai kesrotāpannaan, jenjang kesucian terbawah dalam Kendaraan Kecil. Ia kini termasuk seorang suci (ārya) walaupun masih harus berlatih lagi (śaikṣa). Berangsur-angsur ia akan membentuk tubuh Dharma sebagaimana yang dimiliki para aśaikṣa, yang terdiri atas lima agregat: Śīla, Samādhi, Prajñā, Vimukti, dan Vimukti-jñāna-darśana.

Seorang srotāpanna bukan hanya mematahkan pandangan bahwa diri itu nyata, melainkan juga dua belenggu terendah lainnya: keragu-raguan (vicikitsā), serta kemelekatan irasional pada aturan (śīla) & penekunan (brata). Terbebas dari keragu-raguan berarti memiliki Keyakinan yang Tak Tergoyahkan (avetya prasāda) atau Keyakinan yang Tak Terhancurkan (abhedya prasāda). Keyakinan terhadap apa? Saṅgīti Sūtra 《眾集經》, yang merupakan sūtra ke-9 Dīrgha Āgama (T. vol. 1, № 1 hlm. 51a), menyatakan:

復有四法,謂:四須陀洹支
Ada empat dharma lagi, yaïtu: empat faktor srotāpatti —

 比丘於佛得無壞信,
 seorang bhikṣu terhadap Buddha memperoleh keyakinan yang tak terhancurkan,
 於法、     terhadap Dharma,
 於僧、     terhadap Saṅgha,
 於戒得無壞信。 terhadap Śīla
         memperoleh keyakinan yang tak terhancurkan.

Kata avetya ditafsirkan berasal dari akar ava-√i ‘mengerti, mengetahui’. Avetya prasāda adalah keyakinan berdasarkan pengetahuan, yang timbul karena sudah mengerti, dan bukan keyakinan yang membuta. Hanya seorang srotāpanna-lah yang benar-benar memiliki avetya prasāda karena ia sudah melihat Empat Kebenaran Sejati secara langsung, bukan cuma secara intelektual seperti kita makhluk biasa.


Jadi, dapat kita simpulkan, untuk mencapai jenjang kesucian terbawah dalam Kendaraan Kecil bukanlah hal yang mudah! Bagaimana bisa kita menjadi srotāpanna, sementara kepada siapa kita pergi berlindung pun kita tidak mengerti? Meskipun seorang srotāpanna belum sempurna dalam membentuk tubuh Dharma, tetapi ia tidak ragu-ragu kepada Śīla yang merupakan Dharma-sebagai-pemotong-nafsu, untuk merealisasi Śīla yang merupakan salah satu agregat Dharma-sebagai-keadaan-bebas-nafsu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar