Powered by Administrator

Translate

Senin, 02 September 2019

Śīla sebagai Perlindungan Keempat

Dharmaratna juga terdiri atas dua unsur: Dharma dan Vinaya (dalam terjemahan lama seringkali 經戒 ‘Sūtra dan Śīla’ digunakan sebagai padanan). Maka objek berlindung Buddhis, boleh dibilang, sesungguhnya ada empat — Buddha, Dharma dan Śīla (baik dalam aspeknya sebagai pemotong nafsu maupun sebagai keadaan bebas-nafsu), serta Saṅgha. Keyakinan murni kepada keempatnya disebut Keyakinan yang Tak Tergoyahkan (avetya prāsada) atau Keyakinan yang Tak Terhancurkan (abhedya prāsada). Tidaklah salah bila dalam Bodhisattvakeyura-parikarma Sūtra 《菩薩瓔珞本業經》 (T. vol. 24, № 1485 hlm. 1020c) para bodhisattva diharapkan mengajari kandidat penerima Śīla rumusan berikut:

「佛子。復教受四不壞信,依止四依法:
“Putra-putra Jina, ajarilah lagi [sang kandidat] untuk menerima Empat Keyakinan yang Tak Terhancurkan, untuk bersandar pada Empat Dharma Sandaran:

『從今時,盡未來際身,
‘Mulaï saat ini, hingga akhir keberadaanku di masa datang:
歸依佛、    aku berlindung kepada Buddha,
歸依法、    aku berlindung kepada Dharma,
歸依賢聖僧、  aku berlindung kepada Ārya Saṅgha
歸依正法戒。』 aku berlindung kepada Śīla dari Dharma Sejati
        (Saddharma).’

Setelah melaksanakan Dharma (latihan), seseorang merealisasi Dharma (Nirvāṇa). Ia disebut seorang Buddha. Jadi, dapat dikatakan, Buddha terlahir dari Dharma; Buddha adalah manifestasi Dharma. “Buddha adalah Dharma, Dharma juga adalah Buddha,” tulis Sarvāstivāda-vinaya Vibhāṣā, “Saṅgha pun demikian.” Pada puncaknya Buddha dan Saṅgha kehilangan identitasnya, yang bermuara pada satu Dharma. Maka Perlindungan tertinggi Buddhis setepatnya adalah kepada Dharma. Lalu mengapakah rumusan Tiga Perlindungan bukan diawali dengan berlindung kepada Dharma?

Abhidharma Mahāvibhāṣā mengemukakan alasan karena Buddha adalah pemimpin Ajaran. Bilamana Buddha tidak membabarkan, maka Dharma pun tidak tertampilkan. Oleh sebab itu, berlindung kepada Buddha adalah yang pertama. Selain itu, rumusan Tiga Perlindungan (dan Empat Keyakinan yang Tak Tergoyahkan) memang ditransmisikan begitu dari guru ke murid secara turun-temurun dan telah menjadi tradisi.

Agar lebih jelas Abhidharma Mahāvibhāṣā memberi perumpamaan-perumpamaan, yang selengkapnya dapat dilihat di sini.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar