Ini hanyalah pengulangan dari deskripsi gambar di posting sebelumnya. Kisah pembantaian suku Śākya oleh Raja Virūḍhaka tercatat dalam teks-teks Buddhis berbagai mazhab. Buddha sendiri tidak bisa mencegah genosidium yang terjadi atas kaum-Nya. Bukannya tidak mau menolong, tetapi karma kolektif yang dilakukan sebagian besar kaum Śākya dalam kehidupan lampaunya memang benar-benar sudah masak dan sudah waktunya berbuah sehingga tidak bisa dibelokkan.
Di jilid 5 Mahopāya-kauśalya Buddha Pratyupakāraka Sūtra 《大方便佛報恩經》 (T. vol. 3, № 156 hlm. 152b) diceritakan bahwa setelah menghabisi kaum Śākya, Virūḍhaka memboyong pulang 500 gadis Śākya ke istananya dengan girang karena merasa menang. Gadis-gadis Śākya mencelanya dengan mengatakan bahwa ia tidak menang; kaum Śākya-lah yang sesungguhnya mengalah sebab mereka siswa-siswa Buddha, yang memegang langkah latihan pantang membunuh. Mereka lebih membiarkan diri mereka diserang karena tidak mau menanggapi orang bodoh seperti Virūḍhaka.
Virūḍhaka, yang marah mendengar ucapan tersebut, menyuruh orang memenggal tangan dan kaki para gadis Śākya tersebut, lalu membuang mereka ke pekuburan. Para gadis Śākya merenungkan Buddha dan dipulihkan seperti sedia kala. Untuk membalas budi, mereka hendak menerima Śīla sebagai bhikṣuṇī. Mereka memilih bukan secara fisis meneruskan juriat Śākya — mengingat sebagian besar kaum Śākya sudah punah saat itu — melainkan secara spiritual supaya populasi pribadi-pribadi yang Tercerahkan terus sinambung.
Di jilid 5 Mahopāya-kauśalya Buddha Pratyupakāraka Sūtra 《大方便佛報恩經》 (T. vol. 3, № 156 hlm. 152b) diceritakan bahwa setelah menghabisi kaum Śākya, Virūḍhaka memboyong pulang 500 gadis Śākya ke istananya dengan girang karena merasa menang. Gadis-gadis Śākya mencelanya dengan mengatakan bahwa ia tidak menang; kaum Śākya-lah yang sesungguhnya mengalah sebab mereka siswa-siswa Buddha, yang memegang langkah latihan pantang membunuh. Mereka lebih membiarkan diri mereka diserang karena tidak mau menanggapi orang bodoh seperti Virūḍhaka.
Virūḍhaka, yang marah mendengar ucapan tersebut, menyuruh orang memenggal tangan dan kaki para gadis Śākya tersebut, lalu membuang mereka ke pekuburan. Para gadis Śākya merenungkan Buddha dan dipulihkan seperti sedia kala. Untuk membalas budi, mereka hendak menerima Śīla sebagai bhikṣuṇī. Mereka memilih bukan secara fisis meneruskan juriat Śākya — mengingat sebagian besar kaum Śākya sudah punah saat itu — melainkan secara spiritual supaya populasi pribadi-pribadi yang Tercerahkan terus sinambung.
時,五百釋女,異口同音,至心念佛:「南無釋迦牟尼多陀阿伽度、阿羅訶、三藐三佛陀。」
Tatkala itu kelimaratus wanita Śākya, dengan mulut berlainan dalam satu suara, bersungguh hati merenungkan Buddha: “Namaḥ Śākyamunaye Tathāgatāyārhate Samyak-saṃbuddhāya.”
復更唱言:「苦哉!苦哉!痛哉!痛哉!嗚呼!婆伽婆・修伽陀。」
Kembali lagi mereka berseru: “Alangkah menderitanya! Alangkah menderitanya! Alangkah sakitnya! Alangkah sakitnya! Aduhai Bhagavan, sang Sugata!”
作是唱時,於虛空中,以如來慈善根力故,起大悲雲,雨大悲雨,雨諸女身。既蒙雨已,身體手足還生如故。諸女歡喜,同共唱言:「如來慈父,無上世尊,世間妙藥,世間眼目,於三界中能拔其苦,施與快樂。所以者何?我等今者得脫苦難。我等今者,當念佛恩,當念報恩。」
Pada saat mereka menyeru demikian, berkat kekuatan akar kebaikan cintakasih Tathāgata, di angkasa muncullah awan Mahākaruṇā, hujanlah hujan Mahākaruṇā, yang menghujani tubuh para wanita itu. Setelah menerima hujan tersebut, tangan dan kaki tumbuh pada tubuh mereka seperti sediakala. Para wanita itu amat bergembira dan bersama-sama berseru: “Tathāgata adalah bapa yang penyayang, Bhagavan yang tiada taranya, obat mujarab bagi dunia, biji mata dunia ini, mampu mencabut penderitaan di Triloka dan menganugerahkan kebahagiaan. Mengapa demikian? Karena kini kita beroleh kelepasan dari penderitaan dan kesukaran. Kini kita harus merenungkan budi Sang Buddha, harus merenungkan membalas budi.”
諸女念言:「當以何事而報佛恩?如來身者,金剛之身,常住之身,無飢渴身,微妙色身,悉是具足百千禪定、根力、覺道、不可思議三十二相、八十種隨形之好;具二莊嚴,住大涅槃;等視眾生如羅睺羅,怨親等觀,亦不望報。我等今者欲報佛恩,當共出家,修持禁戒,護持正法。」
Para wanita merenung: “Bagaimanakah cara kita membalas budi Buddha? Tubuh Tathāgata adalah tubuh vajra, tubuh yang senantiasa bersemayam, tubuh tanpa kelaparan dan dahaga, tubuh dengan fisik yang menakjubkan, yang diperlengkapi dengan ratusan ribu samādhi, indera, kekuatan, faktor Pencerahan, 32 ciri yang tak terbayangkan dan 80 tanda tambahan; Ia sempurna memiliki dua hiasan, bersemayam dalam Nirvāṇa Agung; Ia samarata memandang semua makhluk sebagai Rāhula, menganggap setara yang memusuhi maupun yang mengasihi-Nya, juga tidak pernah mengharapkan balasan. Kini, jikalau kita hendak membalas budi Buddha, haruslah kita meninggalkan rumah-tangga, berlatih dan memegang aturan Śīla demi menjaga bertahannya Saddharma.”
思惟是已,即求衣鉢,往詣王園比丘尼精舍,求索出家。
Setelah menimbang demikian, maka mereka mencari jubah dan mangkuk, lalu berangkat menghampiri ārāma para bhikṣuṇī di taman kerajaan demi memohon pravrajyā.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar