Tanpa pernah berkomitmen dengan mengambil suatu disiplin sebelumnya, seseorang yang berhasil meraih pencapaian meditasi tertentu juga memiliki substansi Śīla dalam dirinya, yakni: Dhyānaja Saṃvara. Akan tetapi, sama seperti Dhyāna yang tidak kekal, substansi tersebut sangat mudah terpengaruh keadaan batin (
cittānuvartin). Sebagai contoh: meskipun Udraka Rāmaputra telah mencapai Ārūpya Samāpatti, saat kakinya disentuh oleh permaisuri raja, nafsu terbangkitkan dalam batinnya. Ia kehilangan pengendalian diri sehingga tidak mampu terbang kembali ke tempat kediamannya.
Untuk substansi Śīla yang terbentuk karena pengambilan, jika seseorang yang mengaku Buddhis mengambil disiplin-disiplin Buddhis namun tidak disertaï motivasi untuk bertolak dari saṃsāra, maka latihan moralitas yang dijalankannya jadi sama saja dengan latihan non-Buddhis — ajaran-ajaran non-Buddhis pun mewajibkan para penganutnya agar berkomitmen menjaga moralitas (biasanya dengan diiming-imingi pahala surga)! Apalagi jika seseorang yang mengambil disiplin-disiplin Buddhis sama sekali tidak memahami konsep substansi Śīla — apalah beda latihannya dengan norma moralitas umum? Sebab dalam bermasyarakat, walau tidak pernah menyatakan komitmen (dengan mengambil disiplin spesifik), orang-orang di dunia pun berusaha hidup secara bermoral.
Moralitas yang timbul secara alami berkat pencapaian meditasi dan moralitas yang timbul karena pengambilan tergolong sebagai
śīla duniawi karena sifatnya terkondisi. Dalam pengertian ini, moralitas yang timbul karena pengambilan mencakup Prātimokṣa (Buddhis) maupun non-Prātimokṣa (non-Buddhis). Hanya Anāsrava Saṃvara-lah yang tergolong
śīla adiduniawi sebab tidak terkondisi.
Akan tetapi, sebagaimana dikatakan dalam
Vinaya Mātr̥kā bahwa disiplin Prātimokṣa “yang duniawi ini mampu menjadi sebab bagi yang adiduniawi”, maka secara sempit disiplin Prātimokṣa boleh disebut śīla adiduniawi juga, sedangkan disiplin non-Prātimokṣa śīla duniawi. Pengertian ini ditekankan dalam bab XXII
Upāsaka Śīla Sūtra 《優婆塞戒經
·五戒品》 (T. vol. 24, № 1488), di mana disiplin Prātimokṣa dinamakan pula
śīla tertinggi. Di hlm. 1064a dikatakan:
世戒亦有不殺、不盜;義戒亦有不殺、不盜。至不飲酒,亦復如是。
Dalam śīla duniawi terdapat juga pantangan membunuh dan mencuri [sebagaimana diajarkan] dalam śīla tertinggi untuk tidak membunuh dan tidak mencuri. Bahkan sampai pantangan meminum minuman-keras pun begitu pula.
如是世戒,根本不淨,受已不淨。莊嚴不淨、覺觀不淨、念心不淨、果報不淨。
Walau demikian, śīla duniawi — karena akarnya tidak murni —, setelah diterima, pun seseorang tidak termurnikan. Hiasannya tidak termurnikan, penalaran (vitarka) dan pengawasannya (vicāra) tidak termurnikan, perhatiannya tidak termurnikan, buahnya pun tidak termurnikan.
故不得名第一義戒,唯名世戒。是故!我當受於義戒。
Maka [moralitas tersebut] tidak dapat dinamakan sebagai śīla tertinggi, tetapi hanya dinamakan śīla duniawi. Oleh karena itu, seharusnyalah kita menerima śīla tertinggi!
“Akarnya tidak murni” sebab śīla duniawi biasanya diambil dengan motivasi agar terlahir di surga. Śīla-śīla Buddhis diambil untuk mencapai Kebebasan dari saṃsāra atau, bagi seorang praktisi Jalan Bodhisattva, untuk mencapai Pencerahan Tertinggi demi menguntungi, bukan cuma diri sendiri, melainkan juga semua makhluk.
“Hiasan” bermakna jasa-jasa (dari pelaksanaan moralitas). Jasa-jasa menjadi penghias Jalan menuju Pencerahan. Bukan hanya untuk tujuan-tujuan duniawi, untuk mencapai tingkatan Pencerahan mana pun, diperlukan jasa-jasa besar. Jasa-jasa dari pelaksanaan śīla duniawi secara egoistis ditujukan agar diri sendiri dapat terlahir di surga. Jasa-jasa dari pelaksanaan śīla-śīla Buddhis ditujukan untuk mencapai Kebebasan dari saṃsāra namun dengan realisasi bahwa pribadi yang terbebas dari saṃsāra pada hakikatnya kosong.
Ruang lingkup śīla duniawi biasanya terbatas. Pantangan membunuh, misalnya, hanya mencakup sesama manusia, sedangkan hewan-hewan boleh dibunuh. Ruang lingkup śīla-śīla Buddhis meliputi seluruh Dharmadhātu. Pantangan membunuh mencakup semua makhluk, bukan hanya yang ada di sistem dunia kita ini saja, bahkan hingga ke sepuluh penjuru dan tiga masa. Karena ruang lingkup śīla duniawi terbatas, mustahil pelaksananya bisa mengembangkan kasih-sayang secara sempurna. Dengan demikian “penalaran dan pengawasannya tidak termurnikan”. Mereka takkan dapat melenyapkan kebencian (dan juga keserakahan & kebodohan) seutuhnya.
Śīla duniawi biasanya dilaksanakan secara mekanis semata-mata karena kewajiban agama sehingga “perhatiannya tidak termurnikan”. Śīla-śīla Buddhis diambil secara sukarela tanpa diwajibkan; seseorang melaksanakannya dengan perhatian penuh dan mendedikasikan segala jasanya untuk mencapai Pencerahan.
Untuk mencapai tingkatan Pencerahan mana pun, diperlukan jasa-jasa besar.
Nidhikaṇḍa Sutta dari
Khuddaka Pāṭha Pāli menyebutkan:
Pengetahuan analitis (paṭisaṃbhidā), pembebasan (vimokkha),
kesempurnaan seorang siswa (sāvaka pāramī),
pencerahan pacceka (pacceka bodhi), dan tingkatan Buddha (buddha bhūmi)
— semuanya diperoleh [karena buah jasa-jasa].
Hal ini tidak bisa dihasilkan dengan melaksanakan śīla duniawi. Oleh karena itu, “buahnya pun tidak termurnikan”.