Powered by Administrator

Translate

Sabtu, 12 Januari 2019

INTISARI LAÜTAN VINAYA

di Vihara Dharma Satya Rawamangun

Tsongkhapa (1357–1419)
Intisari Laütan Vinaya (‘Dul-ba rgya-mtsho’i snying-po) adalah karya pendek Je Tsongkhapa yang tersusun dalam bait-bait heptasilabis. Meskipun berasal dari tradisi yang berbeda (Mūlasarvāstivāda), pelajaran vinaya yang diringkaskan syair ini secara garis besar sejalan dengan apa yang diajarkan oleh Sekolah Vinaya Tiongkok. Terjemahannya dalam bentuk pdf oleh Lobsang Rabgay dapat diunduh di sini. Terjemahan lain dalam bahasa Inggris, misalnya, di sini.

Terdapat beberapa komentar teks ini yang juga telah diterjemahkan ke bahasa Inggris, antara lain:


Tidak ada hal baru yang diuncarkan Je Tsongkhapa di sini selain keunikan langkah-langkah latihan dalam Mūlasarvāstivāda Vinaya (misalnya: enam dharma dan enam anudharma untuk śikṣamāṇā). Secara umum isi teks ini hanya mengulangi apa yang telah dibahas dalam Abhidharmakośa. Hanya dua alternatif yang disajikan dalam pembahasan hakikat substansi disiplin: material atau mental. Kalimat “yang berpandangan tinggi dan rendah” menimbulkan kesan seolah-olah mereka yang menganggapnya material adalah lebih tinggi — walaupun Tsongkhapa sendiri tidak secara jelas menyebutkan mana sekolah yang lebih tinggi dan mana yang lebih rendah.

Dalam komentar-komentar Tibet, sekolah Kendaraan Kecil Vaibhāṣika, yang berpendapat bahwa substansi disiplin itu materi, justru dipandang lebih rendah; sementara Sautrāntika yang menganggapnya mental dipandang lebih tinggi. Selanjutnya sekolah-sekolah Kendaraan Besar biasanya dipandang lebih tinggi daripada sekolah-sekolah Kendaraan Kecil. Salah satunya, Vijñaptimātra/Cittamātra, dikatakan juga berpendapat bahwa substansi disiplin itu mental. Akan tetapi, Cittamātrin sesungguhnya menganggap substansi disiplin adalah keduanya. Mereka menerima teori bīja dari Sautrāntika, namun di sisi lain juga mengakui keberadaan avijñapti rūpa (kini disebut samādānika rūpa) sebagai sebuah prajñapti. (Pendapat keempat bahwa substansi disiplin itu bukan material juga bukan mental, seperti yang diuraikan Satyasiddhi Śāstra yang hanya tersedia terjemahan Tionghoanya, tentu saja tidak dikenal di Tibet.)

Dalam Sekolah Madhyamaka, kaum Svātantrika juga menganggap substansi disiplin itu mental. Sebaliknya, kaum Prasaṅgika, yang dipandang lebih tinggi daripada Svātantrika, menganggapnya material.







OM̐ SVASTI ASTU!
NAMAḤ SARVAJÑĀYA.


Wahana yang menjadi sandaran
untuk pergi dengan leluasa ke Kota Kebebasan,
yaitu intisari terunggul ajaran Sugata,
yang disebut Prātimokṣa,

akan kujelaskan dalam enam bagian:
hakikat, tipologi, karakteristik individual,
penerima sebagai wadah terbentuknya,
sebab kerontokan, dan manfaat.

(A. HAKIKAT PRĀTIMOKṢA SAṂVARA:)

Meninggalkan tindakan menyakiti makhluk lain dan segala dasarnya,
dengan dilandasi semangat pertolakan [dari saṃsāra].

“Itu merupakan karma jasmani dan ucapan,”
jadi sebahagian menyatakannya sebagai materi.
Sebahagian lain menyatakan “itu kehendak menghindari (virati)
yang terus bersinambung [di dalam batin] beserta benihnya.”

Maka posisi sekolah-sekolah kita (Buddhis) ada dua:
yang berpandangan tinggi dan rendah.

(B. TIPOLOGI PRĀTIMOKṢA SAṂVARA:)

[Disiplin] upavāsaka, upāsaka, upāsikā,
śrāmaṇera, śrāmaṇerī, śikṣamāṇā,
bhikṣunī dan bhikṣu — itulah
delapan tipe Prātimokṣa [Saṃvara].

Tiga yang pertama merupakan disiplin perumahtangga,
lima yang terakhir merupakan disiplin monastik.

(C. KARAKTERISTIK INDIVIDUAL SETIAP TIPE SAṂVARA:)

  1. Empat akar dan empat anggota —
    penghindaran kedelapannya merupakan disiplin Upavāsa.

    Berhubungan seksual; mengambil yang tak diberikan;
    memotong kehidupan; dan berkata dusta
    adalah keempat akar.
     Beranjang tinggi-mewah;
    minum alkohol; tarian dsb. kalungan bunga dsb.;
    makanan selewat tengah hari
     adalah keempat anggota.

  2. Pembunuhan, pencurian, kedustaan, perzinahan,
    minum minuman-keras adalah lima yang dihindari
    sebagai disiplin bagi upāsaka.

    Pelaksana satu-, sedikit-, atau banyak-bagian;
    pelaksana penuh, atau pelaksana [penuh] dengan praktik sélibat;
    atau pemergi berlindung.
     Enam jenis upāsaka ini
    menghindari satu, dua, atau tiga dari keempat akar;
    menghindari aktivitas yang salah, atau segala aktivitas seksual sama sekali;
    atau menjadi upāsaka yang hanya mengambil Perlindungan —
    demikian yang dinyatakan masing-masing berturut-turut.

  3. Empat akar dan enam anggota —
    penghindaran kesepuluhnya merupakan disiplin śrāmaṇera.

    Tarian dsb. serta kalungan bunga dsb. dijadikan dua,
    dan memunyaï mas dan perak sebagai yang ketiga
    — pemecahan ini membentuk enam anggota.

    Memohon [seorang bhikṣu] untuk menjadi upādhyāya,
    menanggalkan penampilan selaku perumahtangga, dan
    mengambil penampilan selaku monastik —
    kegagalan atas ketiga hal ini, apabila ditambahkan,
    membentuk total tiga belas yang harus disingkirkan.

  4. Setelah memperoleh disiplin śrāmaṇerī,
    sebagai tambahan disiplin menghindari
    enam mūladharma dan enam anudharma
    — itulah disiplin bagi śikṣamāṇā.

    Tidak bepergian seorang diri di jalan,
    tidak berenang menyeberangi sungai,
    tidak menyentuh seorang pria,
    tidak tinggal berduaan saja dengan seorang pria,
    tidak berlaku menjadi comblang perantara,
    dan tidak menyembunyikan dosa kecelaan
    — itulah penghindaran enam mūladharma.

    Tidak memegang emas,
    tidak mencukur bulu kemaluan,
    tidak makan makanan yang tak dipersembahkan kepadanya,
    tidak makan makanan yang pernah ditimbun,
    tidak buang air di rumput yang hijau,
    dan tidak menggali tanah
    — itulah penghindaran enam anudharma.

  5. Pārājika delapan, [saṅghāva]śeṣa dua puluh,
    naiḥsargika-pāyantika tiga puluh tiga,
    śuddha-pāyantika seratus delapan puluh,
    pratideśanīya sebelas, dan
    duṣkṛta seratus dua belas —
    tiga ratus enam puluh empat hal inilah
    yang dihindari oleh bhikṣuṇī.

  6. Pārājika empat, serta [saṅghāva]śeṣa
    tiga belas, naiḥsargika-pāyantika tiga puluh,
    śuddha-pāyantika sembilan puluh,
    pratideśanīya empat, dan duṣkṛta
    seratus dua belas — disiplin dengan
    dua ratus lima puluh tiga hal yang dihindari
    inilah karakteristiknya bagi bhikṣu.

(D. PENERIMA YANG MENJADI WADAH PRĀTIMOKṢA SAṂVARA:)

Demikianlah kedelapan tipe Prātimokṣa [Saṃvara],
— kecuali pada penghuni Uttarakuru —
pada pria dan wanita dari tiga benua
dapat terbentuk, asalkan ia bukan
śaṇḍaka, paṇḍaka, ubhavyañjana, dsb.

(E. SEBAB-SEBAB KERONTOKAN PRĀTIMOKṢA SAṂVARA:)

Yang menyebabkan rontoknya disiplin ada dua.
  • Melepas latihan; mati dan pindah [kelahiran];
    menjadi hermafrodit; berubah [kelamin] hingga tiga kali;
    putusnya akar kebaikan
     adalah sebab umum [bagi semua tipe].
  • Baru menyadari belum berusia dua puluh;
    cuma menyetujui ajakan [bersetubuh, meski belum terjadi];
     lewatnya jangka sehari semalam
    adalah sebab khusus bagi masing-masing
    bhikṣu, śikṣamāṇā, dan upavāsaka.

“Jikalau terjadi [salah satu dari empat] pelanggaran akar,
juga tepat saat Saddharma berakhir,
disiplin [secara otomatis] rontok,” demikian sebahagian berpandangan.

Kaum Vaibhāṣika dari Kashmir, akan tetapi,
berpandangan disiplin tetap dimiliki walaupun
 terjadi pelanggaran akar,
ibarat seorang kaya [masih kaya meski] berhutang.

(F. MANFAAT MEMEGANG PRĀTIMOKṢA SAṂVARA:)

Dengan menjaga disiplin-disiplin ini,
buah temporer sebagai dewa atau manusia, dan
buah tertinggi berupa tiga jenis Bodhi
akan diperoleh — demikian dikatakan.

Maka Anda yang antusias hendaklah,
 terhadap Prātimokṣa,
dengan tekun selalu berusaha menjaganya.



Dengan kebaikan yang telah kuperbuat, semoga semua makhluk
dapat berdiam dalam kehidupan kudus selamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar