Powered by Administrator

Translate

Kamis, 27 Agustus 2015

Cara Perolehan Prātimokṣa Saṃvara

Sehubungan dengan terbentuknya Prātimokṣa Saṃvara melalui paravijñapana, guru-guru vinaya menyebutkan sepuluh cara yang berbeda-beda, sebagaimana dirinci dalam Vinaya Piṭaka mazhab Sarvāstivāda 《十誦律》 (T. vol. 23, № 1435), bhāṇavāra ke-10 (“Vinītaka Adhyāya” 比尼誦, hlm. 410a). Lihat juga pada penjelasan untuk bait 26 dari bab IV Abhidharmakośa Bhāṣya 《阿毘達磨俱舍論》 (T. vol. 29, № 1558 hlm. 74b).

Sepuluh cara perolehan Prātimokṣa Saṃvara tersebut antara lain:


  1. Timbul dengan sendirinya (svayaṃbhūtva 由自然)

    Ini berlaku hanya bagi Buddha, sang Bhagavan sendiri, yang memperoleh Prātimokṣa Saṃvara tanpa guru.

  2. Dengan memperoleh Kepastian terbebas dari kelahiran kembali (niyāmāvakrānti 由得入正性離生)

    Dialami oleh kelima murid pertama (Ājñata Kauṇḍinya dkk.). Saat pertama kalinya mereka melihat Kebenaran dan memasuki Jalan Kesucian, saat itu pula mereka memperoleh disiplin kebhikṣuan.

  3. Melalui panggilan “datanglah, Bhikṣu!” (ehibhikṣuka 由佛命善來苾芻)

    Ketika Buddha berseru kepada seseorang “datanglah, Bhikṣu!”, maka pada saat itu juga substansi Śīla terbentuk dalam diri orang tersebut. Rambutnya akan rontok secara ajaib dan pakaiannya bersalin menjadi tiga jubah monastik. Contoh arhat yang memperoleh disiplin secara demikian adalah Yaśa. Terdapat juga kisah-kisah beberapa wanita yang ditahbis menjadi bhikṣuṇī dengan cara ini.

  4. Dengan keyakinan menerima Buddha sebagai Guru Agung (śāstr̥abhyupagama 由信受佛為大師)

    Mahākāśyapa memperoleh disiplin kebhikṣuan dengan mengucapkan sendiri pernyataan bahwa Buddha adalah gurunya — Sewaktu ia menghormati dewa-dewa, patung-patung para dewa tersebut hancur berkeping-keping. Ia tidak berani memberi salam kepada Buddha karena khawatir tubuh Beliau pun akan hancur berkeping-keping. Namun, Buddha memberi isyarat agar ia tetap melakukannya. Ia melakukannya dan, ternyata, Buddha tidak terluka sedikit juga. Maka Mahākāśyapa pun berkata: “Dialah guruku (ayaṃ me śāstā)!”

  5. Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan secara terampil (praśnārādhana 由善巧酬答所問)

    Cara ini dialami oleh Bhikṣu Sodāyin. Buddha merasa puas karena ia dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang Beliau ajukan, dan pada saat bersamaan Sodāyin pun memperoleh disiplin kebhikṣuan.

  6. Dengan menerima delapan aturan berat (gurudharmābhyupagama 由敬受八尊重法)

    Khusus berlaku bagi bhikṣuṇī pertama, Mahāprajāpatī Gautamī. Saat ia bersedia menerima delapan aturan berat (gurudharma), saat itu pula substansi Śīla bhikṣuṇī terbentuk dalam dirinya.

  7. Melalui utusan (dūta 由遣使)

    Cara ini dialami oleh Ardhakāśī, seorang wanita yang kecantikannya seberharga setengah Negeri Kāśi. Banyak pria yang tergila-gila kepadanya dan ingin melamarnya. Namun, Ardhakāśī lebih suka meninggalkan rumah-tangga. Untuk menghindari kejaran mereka, ia melarikan diri ke taman kerajaan. Para penggemarnya bersepakat: “Para bhikṣuṇī berada di bawah perlindungan kerajaan; jika kita mengganggu seorang bhikṣuṇī, tentu kita akan mendapat hukuman raja. Jangan sampai Ardhakāśī pergi untuk ditahbiskan. Begitu ia keluar taman, marilah kita segera menculiknya.” Mengetahui hal ini, maka Buddha mengutus seorang bhikṣuṇī untuk mewakilinya memohon penahbisan dari saṅgha. Ardhakāśī melakukan segala komunikasi dengan saṅgha dalam penahbisannya, melalui perantaraan utusan tersebut.

    (Lihat kisahnya dalam skandhaka terakhir dari Sarvāstivāda Vinaya, “Kṣudraka Dharma” 《十誦律·雜法》 [T. vol. 23, № 1435 hlm. 295b]. Untuk perolehan Prātimokṣa Saṃvara dengan cara ini, Abhidharmakośa Bhāṣya akan tetapi memberikan contoh kasus Bhikṣuṇī Dharmadinnā.)

  8. Dengan mengulangi tiga kali pernyataan berlindung kepada Buddha, Dharma, dan Saṅgha (śaraṇagamanaṃ-traivācika 由三說歸佛法僧)

    Merupakan cara yang mula-mula ditetapkan Buddha bagi para bhikṣu dalam memberikan penahbisan. Seseorang yang ingin meninggalkan rumah-tangga dapat memohon seorang bhikṣu lain menjadi guru. Gurunya itu akan mengajarinya rumusan Tiga Perlindungan. Pada saat si pemohon selesai mengulangi tiga kali, maka saat itu pula substansi Śīla bhikṣu ia peroleh. Ini serupa dengan cara penerimaan pengikut-pengikut awam menjadi upāsaka/upāsikā. Pada saat seorang awam selesai mengulangi rumusan Tiga Perlindungan yang diajarkan gurunya, maka saat itu pula disiplin upāsaka/upāsikā terbentuk dalam dirinya. Penahbisan bhikṣu dengan cara ini diizinkan beberapa saat lamanya, hingga dilarang kembali oleh Buddha dan diganti dengan cara penahbisan di bawah.

  9. Melalui saṅgha yang terdiri atas sepuluh orang (daśavarga 由十眾)

    Ketika anggota saṅgha semakin banyak, mulaï muncul penyelewengan-penyelewengan. Orang-orang yang seharusnya tidak layak berada di dalam saṅgha malah diterima. Oleh karena itu, prosedur penahbisan pun diperketat. Mengulangi Tiga Perlindungan tidak lagi diizinkan sehingga hanya kita jumpaï dalam pemberian Śīla-Śīla yang lebih rendah. Prosedur baru diperkenalkan, yang disebut jñapti-caturtha karman, di mana seseorang tidak dapat hanya memohon seorang bhikṣu sebagai guru penahbis, tetapi harus kepada saṅgha yang terdiri atas sepuluh orang bhikṣu (tiga guru dan tujuh saksi 三師七證). Inilah cara yang kemudian berlaku untuk menahbiskan bhikṣu/bhikṣuṇī, dan berlanjut terus hingga hari ini.

  10. Dengan pemegang vinaya sebagai yang kelima (vinayadharapañcama 由持律為第五人)

    Ini merupakan toleransi untuk cara #9, khusus bagi daerah-daerah di luar Madhyadeśa di mana saṅgha yang ada tidak memenuhi kuorum sepuluh bhikṣu, sehingga diizinkan untuk melakukan penahbisan dengan dihadiri oleh lima bhikṣu saja (tiga guru dan dua saksi 三師二證).


Dari berbagai cara di atas dapat kita lihat bahwa perolehan Prātimokṣa Saṃvara tidak selalu melibatkan aspek vijñapti, misalnya yang diperoleh tanpa guru oleh Buddha sendiri. Akan tetapi, ada pula yang berpendapat bahwa Buddha pun melalui aspek vijñapti, yakni saat Beliau bertekad di bawah pohon Bodhi: “Aku tidak akan bangkit sebelum mengakhiri segala kebocoran-batin,” dan kemudian duduk. Di sini kāya vijñapti dan vāk vijñapti telah terbentuk. Saat Beliau benar-benar mengakhiri segala kebocoran-batin, maka saat itu pula Prātimokṣa Saṃvara terbentuk dalam diri-Nya.

Begitu juga Prātimokṣa Saṃvara yang diperoleh kelima murid pertama (Pañcavargika) dengan memasuki Jalan adalah tidak melibatkan aspek vijñapti. Namun, ada yang berpendapat bahwa terdapat aspek vijñapti dalam kesediaan mereka duduk dan mendengarkan khotbah Buddha. Selesai khotbah itu disampaikan, saat itu pula mereka melihat Kebenaran, dan terbentuklah Prātimokṣa Saṃvara dalam diri mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar