Powered by Administrator

Translate

Śakra Bukanlah Tuhan

enggelari deitas tertentu dengan berbagai sebutan kehormatan merupakan fenomena universal yang dapat dijumpaï dalam segala sistem religi di India. Tradisi-tradisi berbeda menggubah daftar-daftar berbeda yang memuat hingga 108 gelar (aṣṭottaraśata nāma) atau, lebih ekstensif lagi, 1.000 gelar (sahasra nāma). Untuk deitas minor seperti Śakra, Buddhisme — bahkan sejak awal — menerima gelar-gelarnya yang sudah populer, dan memaknaï-ulang dengan etimologi baru, seperti terlihat pada sūtra ke-1106 Saṃyukta Āgama 雜阿含經 (T. № 99). Teks yang diberi judul Sūtra tentang “Apakah Sebabnya” 《以何因經》 ini berpadanan dengan sūtra ke-35 pada terjemahan lain Saṃyukta Āgama 別譯雜阿含經 (T. № 100). Paralelnya dalam kanon Pāli ialah (Satta) Vatapada Sutta (SN XI.2: 2, edisi Chaṭṭa Saṅgāyana menamaïnya Sakka Nāma Sutta).

Kerja hukum karma ditunjukkan oleh Buddha dalam teks ini. Alih-alih mendasarkan pada mitos populer tentang seribu vagina di sekujur tubuh yang berubah menjadi seribu mata, misalnya, Buddha menceritakan bahwa Śakra memperoleh gelar Sahasrākṣa karena dalam kelahiran lampau ia senantiasa menggunakan kebijaksanaannya untuk menganalisa dan memecahkan seribu permasalahan. Justru karena aneka karma baik yang diperbuatnyalah maka ia bisa memperoleh status sebagai Śakra.

Umat Buddhis tidak berdoa kepada Śakra dengan harapan dihindarkan dari kemalangan sepanjang tahun. Śakra bukanlah Tuhan tempat kita memasrahkan nasib. Siapa pun dapat menjadi penguasa surga seperti Śakra, asalkan melakukan banyak perbuatan baik. Secara berulang-ulang, dalam sūtra ini Buddha membabarkan langkah-langkah yang harus ditekuni agar kita bisa menyamaï Śakra. Meski begitu, dalam melakukan segala kebaikan kita hendaknya tidak bertujuan supaya terlahir di alam surga, tetapi mendedikasikannya sebagai potensi positif guna meraih Kebebasan dari saṃsāra.







《以何因經》
Sūtra tentang “Apakah Sebabnya”
(Saṃyukta Āgama 1106)






如是我聞。
Demikianlah yang telah kudengar:



一時,佛住鞞舍離國,獼猴池側重閣講堂。
Pada suatu ketika Buddha berdiam di Vaiśālī, di balai ceramah bertingkat di tepi Kolam Monyet (Markaṭa Hrada).



1. Śakra



時,有異比丘來詣佛所,稽首佛足,退住一面,白佛言:「世尊 。何因、何緣釋提桓因名釋提桓因?」
Tatkala itu adalah seorang bhikṣu yang datang ke tempat Buddha, bersujud menyembah kaki Beliau, lalu undur berdiri di satu sisi dan berkata kepada Buddha: “Ya Bhagavan, apakah sebabnya, apakah musababnya maka Śakra devānām-indra dinamakan Śakra devānām-indra?”

佛告比丘:「釋提桓因,本為人時,行於頓施。沙門、婆羅門、貧窮、困苦、求生行路乞,施以飲食、錢財、穀帛、華香、嚴具、床臥、燈明。以堪能故,名釋提桓因。」
Buddha memberitahu bhikṣu tersebut: “Śakra devānām-indra, semula sewaktu menjadi manusia, telah mempraktikkan derma dengan spontan. Terhadap para śramaṇa dan brāhmaṇa, orang miskin yang menderita, atau siapa pun yang mencari kehidupan dan berkelana mengemis-ngemis di jalan, ia memberikan makanan dan minuman, uang, beras, sandang, bunga, dupa, perhiasan, tempat tidur, pelita dan penerangan. Karena kesanggupannya¹ sudi [memberi], maka ia dinamakan Śakra devānām-indra.”



2. Purandara



比丘復白佛言:「世尊。何因、何緣故,釋提桓因復名富蘭陀羅?」
Kembali bhikṣu itu berkata kepada Buddha: “Ya Bhagavan, apakah sebabnya, apakah musababnya maka Śakra devānām-indra dinamakan juga Purandara?”

佛告比丘:「彼釋提桓因,本為人時,數數行施衣被、飲食,乃至燈明。以是因緣,故名富蘭陀羅。」
Buddha memberitahu bhikṣu tersebut: “Śakra devānām-indra, semula sewaktu menjadi manusia, berulang-ulang mempraktikkan derma sandang, pangan, … s/d pelita penerangan. Karena sebab-musabab ini, maka ia dinamakan Purandara².”



3. Maghavā



比丘復白佛言:「何因、何緣故,復名摩伽婆?」
Kembali bhikṣu itu berkata kepada Buddha: “Apakah sebabnya, apakah musababnya maka ia dinamakan juga Maghavā?”

佛告比丘:「彼釋提桓因,本為人時,名摩伽婆。故釋提桓因即以本名,名摩伽婆。」
Buddha memberitahu bhikṣu tersebut: “Śakra devānām-indra, semula sewaktu menjadi manusia, bernama Maghavā³. Oleh karena itu, Śakra devānām-indra dinamakan dengan namanya yang semula, Maghavā.”



4. Vāsava



比丘復白佛言:「何因、何緣復名婆娑婆?」
Kembali bhikṣu itu berkata kepada Buddha: “Apakah sebabnya, apakah musababnya maka ia dinamakan juga Vāsava?”

佛告比丘:「彼釋提桓因,本為人時,數以婆詵私衣,布施供養。以是因緣,故釋提桓因名婆娑婆。」
Buddha memberitahu bhikṣu tersebut: “Śakra devānām-indra, semula sewaktu menjadi manusia, berulang kali mendermakan persembahan pakaian vāsas (‘kain’). Karena sebab-musabab ini, maka Śakra devānām-indra dinamakan Vāsava.”



5. Kauśika



比丘復白佛言:「世尊。何因、何緣釋提桓因復名憍尸迦?」
Kembali bhikṣu itu berkata kepada Buddha: “Ya Bhagavan, apakah sebabnya, apakah musababnya maka Śakra devānām-indra dinamakan juga Kauśika?”

佛告比丘:「彼釋提桓因,本為人時,為憍尸族姓人。以是因緣故,彼釋提桓因復名憍尸迦。」
Buddha memberitahu bhikṣu tersebut: “Śakra devānām-indra, semula sewaktu menjadi manusia, merupakan seorang dari klan (gotra) Kauśika. Karena sebab-musabab ini, maka Śakra devānām-indra dinamakan juga Kauśika.”



6. Śacīpati



比丘問佛言:「世尊。何因、何緣彼釋提桓因名舍脂鉢低?」
Bhikṣu itu bertanya kepada Buddha: “Ya Bhagavan, apakah sebabnya, apakah musababnya maka Śakra devānām-indra dinamakan Śacīpati?”

佛告比丘:「彼阿修羅女名曰舍脂,為天帝釋第一天后。是故!帝釋名舍脂鉢低。」
Buddha memberitahu bhikṣu tersebut: “Putri asura yang bernama Śacī merupakan permaisuri utama sang raja dewa (devendra). Oleh karena itu, Śakra devendra dinamakan Śacīpati.”



7. Sahasrākṣa



比丘白佛言:「世尊。何因、何緣釋提桓因復名千眼?」
Bhikṣu itu berkata kepada Buddha: “Ya Bhagavan, apakah sebabnya, apakah musababnya maka Śakra devānām-indra dinamakan juga Mata Seribu?”

佛告比丘:「彼釋提桓因,本為人時,聰明智慧,於一坐間,思千種義,觀察稱量。以是因緣,彼天帝釋復名千眼。」
Buddha memberitahu bhikṣu tersebut: “Śakra devānām-indra, semula sewaktu menjadi manusia, merupakan seorang pandai dan bijaksana yang, dalam sekali duduk, memikirkan seribu makna, mengamati, memeriksa, dan mempertimbangkannya. Karena sebab-musabab ini, maka Śakra devānām-indra dinamakan juga Mata Seribu (Sahasrākṣa).”



8. Indra



比丘白佛:「何因、何緣彼釋提桓因復名因提利?」
Bhikṣu itu berkata: “Apakah sebabnya, apakah musababnya maka Śakra devānām-indra dinamakan juga Indra?”

佛告比丘:「彼天帝釋,於諸三十三天,為王、為主。以是因緣,故彼天帝釋名因提利。」
Buddha memberitahu bhikṣu tersebut: “Di antara dewa-dewa Trāyastriṃśa, Śakra devendra merupakan raja, merupakan pemimpin. Karena sebab-musabab ini, maka Śakra devendra dinamakan Indra.”



Penutup



佛告比丘:「然彼釋提桓因,本為人時,受持七種受。以是因緣,得天帝釋。
Buddha memberitahu bhikṣu tersebut: “Sesungguhnya Śakra devānām-indra, semula sewaktu menjadi manusia, telah mengambil dan memegang tujuh langkah penekunan (vratapada​). Karena sebab-musabab tersebut, maka ia menjadi Śakra devendra.

何等為七?
Apakah ketujuhnya itu?

釋提桓因,本為人時,供養父母,乃至等行惠施。
Śakra devānām-indra, semula sewaktu menjadi manusia, [senantiasa] memuja dan menyokong ayah-ibunya, … s/d mempraktikkan derma secara samarata.

是為七種受。以是因緣,為天帝釋。」
Itulah ketujuh langkah penekunan. Karena sebab-musabab tersebut, maka ia menjadi Śakra devendra.”






爾時,世尊即說偈言:
Pada saat itu Bhagavan pun mengucapkan gāthā berikut:

「供養於父母  及家之尊長
 柔和恭遜辭  離麁言兩舌
 調伏慳悋心  常修真實語
 彼三十三天  見行七法者
 咸各作是言  當來生此天」

“Memuja dan menyokong ayah-ibu;
serta orang yang lebih senior dalam keluarga;
ramah, lembut, dan merendah dalam bertutur;
meninggalkan perkataan kasar,
 juga lidah bercabang;
menundukkan kekikiran hati;
senantiasa mengembangkan ucapan benar
— apabila dewa-dewa Trāyastriṃśa
melihat ia yang mempraktikkan ketujuh dharma,
masing-masing semua akan berseru demikian:
‘Kelak ia pasti terlahir di surga sini!’ ”



佛說此經已,諸比丘聞佛所說,歡喜奉行。
Setelah selesai Buddha membabarkan sūtra ini, para bhikṣu merasa amat bergembira demi mendengar apa yang Beliau sabdakan, serta menjunjung dan melaksanakannya.






CATATAN:

¹ Sumber asli teks kita tampaknya lebih ter-Sanskritisasi, dan menerangkan asal kata Śakra dari śakta ‘sanggup, mampu’. Penjelasan yang lebih awal, seperti pada versi Pāli (sakkacca ‘dengan sungguh-sungguh’) dan T. № 100 (純信心 ‘dengan sepenuh keyakinan’), kini tidak cocok lagi sebagai etimologi sebab padanan Sanskertanya akan menjadi satkr̥tya. Walau demikian, penjelasan semula ini masih tersurat jejaknya dalam teks kita: 頓施 (dari perbandingan dengan T. № 100, jelaslah 頓 ‘dengan spontan’ merupakan salah-salin untuk 純 ‘dengan sepenuhnya’).

² Contoh lain Sanskritisasi yang dialami teks kita. Purandara (fu-lan-t’o-lo 富蘭陀羅) — bentuk yang lebih umum dijumpaï dalam literatur Vedis — sebenarnya berarti ‘pembelah kota’. Akan tetapi, teks kita (juga T. № 100) menerangkan etimologinya dari ‘derma yang berulang’ (punardāna?). Bentuk yang ditranskripsikan oleh T. № 100, fu-lan-tan-na 富蘭但那, barangkali lebih asli dan merupakan metatesa punardānapurandana. Versi Pāli memberikan penjelasan berbeda lagi: purindada ‘pemberi dari kota ke kota’.

³ T. № 100 menerangkan bahwa ia adalah brāhmaṇa. Sedangkan menurut versi Pāli ia seorang māṇava (pemuda atau siswa brāhmaṇa); namanya sebagai manusia juga berbeda, yakni Magha saja.

⁴ Menurut versi Pāli: mendermakan āvasatha (‘tempat tinggal’).

⁵ Gelar ini tidak ada pada versi Pāli. Kauśika merupakan sebuah gotra yang mengklaim diri sebagai keturunan Raja Kauśika. Raja Kauśika belakangan bertapa dan menjadi resi dengan nama Viśvamitra. Oleh sebab itu, yang berklan Kauśika dapat merupakan seorang kṣatriya atau seorang brāhmaṇa.

⁶ Menurut versi Pāli namanya adalah Sujā, sehingga Sakka disebut juga Sujampati (‘suami Sujā’).

⁷ Ketujuh langkah penekunan telah diterangkan dalam sūtra sebelumnya (Saṃyukta Āgama 1104):
  • memuja dan menyokong ayah-ibu (供養父母);
  • serta orang yang lebih senior dalam keluarga (及家諸尊長);
  • ramah-tamah dan lemah-lembut dalam ucapan (和顏軟語);
  • tidak bermulut jahat (不惡口);
  • tidak bercabang lidah (不兩舌);
  • senantiasa berkata benar (常真實言);
  • senantiasa bergembira dalam mempraktikkan derma, menyelenggarakan sedekah untuk mempersembahkan derma secara samarata bagi semua (常樂行施,捨會供養,等施一切).
Paralel sūtra tersebut dalam kanon Pāli serta T. № 100, akan tetapi, mengganti “tidak bermulut jahat” dengan “menyingkirkan benci; apabila kemarahan timbul, berusaha memadamkannya secepatnya”.

⁸ Gāthā yang ditampilkan di sini pun berdasarkan SĀ 1104 dan 1105. Teks kita sebenarnya hanya menyebutkan singkat: 如上廣說 ‘seperti yang telah diuraikan selengkapnya di atas’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar