Powered by Administrator

Translate

Jumat, 16 Agustus 2013

SELAYANG PANDANG Ritus Penerimaan Triśaraṇa dalam Tradisi Buddhis Cina


ari formula sederhana pada Dharmaguptaka Karman yang Disempurnakan, penerimaan Tiga Perlindungan dalam tradisi Buddhis Cina telah dielaborasi menjadi ritus yang kita kenal sekarang, seperti di bawah ini. Ritus yang khidmat semacam ini tentu baik untuk membangkitkan ketulusan sehingga pemohon memandang penerimaan Tiga Perlindungan secara sérius. Akan tetapi, ada potensi hal ini menjadi upacara kosong yang tak bermakna, terutama jika dilaksanakan hanya dengan menekankan aspek ritualnya semata, tanpa pemahaman benar tentang makna berlindung yang sesungguhnya.

Walau demikian, perlu juga bagi kita untuk menelaah ritus tradisional penerimaan Tiga Perlindungan ini secara garis besar. Bagian-bagian daripadanya tentu saja disusun berdasarkan sistem vinaya dan teks-teks āgama. Namun, seperti ungkapan lex orandi, lex credendi (hukum berdoa adalah hukum beriman), beberapa bagian — mengundang Triratna, mengakui kesalahan, membangkitkan tekad — ditambahkan sebagai cerminan keyakinan Mahāyānis yang dianut umat Buddhis Tionghoa.

Akhirnya, daripada cuma penyelenggaraan upacara yang meriah, yang terpenting adalah: bagaimana setelah menyatakan berlindung, kita harus selalu menjaga komitmen-komitmen kita terhadap Triratna (lihat http://silavisodhana.blogspot. com/2013/08/fan-hsieh-san-kui.html).




Dengan dipandu oleh seorang asisten (bisa seorang upāsaka atau bhikṣu/śrāmaṇera lain), pemohon Triśaraṇa bernamaskāra tiga kali di depan altar. Kemudian semua berdiri berhadapan, menanti kehadiran bhikṣu pembimbing Triśaraṇa, yang akan masuk dalam suatu prosesi. Setelah tiba, ia akan membakar dupa dan bernamaskāra tiga kali, lalu duduk di tempat yang telah disediakan.


1. Asisten selanjutnya mengucapkan sepatah kata pengantar. Lalu ia menuntun pemohon Triśaraṇa untuk mengulangi rumusan samanvāhara bhadanta (‘bhadanta perhatikanlah’), yang lazim digunakan dalam berbagai karmavācanā Dharmaguptaka:


“Bhadanta, dengan sepenuh hati perhatikanlah saya, siswa yang bernama N. (sebut nama sendiri), kini memohon Bhadanta menjadi guru pembimbing Triśaraṇa. Kiranya Bhadanta sudi menjadi guru pembimbing Triśaraṇa saya. Dengan bersandar kepada Bhadanta, Tiga Perlindungan yang murni akan saya peroleh — berkat belaskasih Bhadanta!”

Permohonan ini diulangi tiga kali, dan setiap kalinya diikuti dengan satu namaskāra kepada guru pembimbing. Pada ulangan terakhir perkataan tz’ŭ-min ku 慈愍故 ‘berkat belaskasih’ (Skt. anukampām upādāya) ditambahi menjadi ta tz’ŭ-min ku 大慈愍故 ‘berkat belaskasih yang besar’.


2. Setelah menyatakan kesediaannya, guru pembimbing akan memberikan homili singkat tentang Triratna (seperti pada http://silavisodhana.blogspot.com/2013/08/siapakah-triratna.html) serta makna berlindung kepada-Nya. Setelah selesai, inti dari ritus penerimaan Triśaraṇa dimulaï di sini.


3. Mula-mula, sebagai ekspresi keyakinan Mahāyānis, guru pembimbing akan mengajak pemohon untuk mengundang kehadiran para Buddha di sepuluh penjuru; Dharma dan Vinaya Kedua Kendaraan; Saṅgha para bodhisattva, pratyeka, dan śrāvaka; silsilah guru-guru pemegang vinaya, dimulaï dari Yang Mulia Upāli; serta para dharmapāla sebagai saksi.


4. Kemudian guru pembimbing menuntun pemohon mengucapkan Pernyataan Tobat berikut kalimat demi kalimat, mengajak mereka untuk menyesali perbuatan-perbuatan salah yang telah mereka lakukan tatkala mereka belum mengenal Triratna dan hidup tidak sesuai Dharma, serta bertekad untuk tidak mengulanginya:


“Saya, siswa yang bernama N.,
semenjak waktu yang tak berawal,
hingga kehidupan kini,
telah menolak Triratna dan menjadi seorang icchantika,
telah memfitnah sūtra-sūtra Mahāyāna 
dan putus mempelajari prajñā.

Saya pernah membunuh ayah dan ibu,
melukaï Sang Buddha,
mencemari saṅghārāma,
merusak kehidupan kudus (brahmacarya) orang lain,
membakar dan menghancurkan stūpa dan vihāra,
mencuri barang-barang milik saṅgha,
membangkitkan pandangan salah,
menguncarkan [kesesatan] bahwa tiada sebab dan akibat,
mengakrabkan diri dengan sahabat-sahabat yang jahat,
membelakangi guru-guru yang budiman.

Saya telah melakukan sendiri semua ini,
mengajari orang lain melakukan, atau
bergembira melihat/mendengar orang lain melakukan.

Segala kejahatan ini tiada terukur dan tiada bertepi;
maka pada hari ini 
saya membangkitkan rasa segan dan malu,
dengan jujur mengakuinya, dan
memohon belaskasih untuk penyesalan ini.

Kiranya Sang Triratna berbelaskasih menerimanya,
memancarkan cahaya yang murni dan menyinari saya,
sehingga saya dapat menghapuskan segala karma buruk,
menyingkirkan ketiga rintangan,
kembali ke sumber batin asasi, dan
menjadi murni sepenuhnya.”

Rumusan ini juga diulangi tiga kali. Kadang-kadang gāthā pertobatan singkat yang populer dari Bhadracarī Praṇidhāna Rāja digunakan sebagai alternatif. Sebagai penutup Pernyataan Tobat, seruan berikut diulangi tiga kali:


“Terpujilah Bodhisattva Mahāsattva Samantabhadrarāja!” (3×)


5. Setelah bertobat, bagian berikutnya merupakan momen terpenting dalam ritus penerimaan Triśaraṇa, di mana substansi Perlindungan ditransmisikan kepada pemohon. Mengikuti tuntunan guru pembimbing, pemohon mengulangi rumusan Tiga Perlindungan berikut sebagai satu kesatuan:


“Saya, N., seumur hidup berlindung kepada Buddha, seumur hidup berlindung kepada Dharma, seumur hidup berlindung kepada Saṅgha.” (3×)

Dengan mengulangi tiga kali, substansi Perlindungan telah diperoleh. Selanjutnya pemohon mengulangi Tiga Konklusi untuk memantapkannya dalam batin. Di sini Tiga Konklusi digabung dengan Tiga Komitmen (san-shih 三誓), dan setiap pernyataannya diulangi tiga kali juga:


“Saya, N., telah berlindung kepada Buddha, lebih baik kehilangan tubuh dan nyawa, namun selamanya tidak berlindung kepada Īśvara, dewa-dewa, hantu-hantu, dsb. Saya hanya berlindung kepada Tathāgata, Arhat, Samyak Saṃbuddha yang merupakan junjunganku — berkat belaskasih-Nya!” (3×)


“Saya, N., telah berlindung kepada Dharma, lebih baik kehilangan tubuh dan nyawa, namun selamanya tidak berlindung kepada ajaran-ajaran non-Buddhis. Saya hanya berlindung kepada segala ajaran yang disabdakan Tathāgata, yang terdapat dalam Kitab-Kitab Suci, yang terdiri atas dua belas divisi (dvādaśāṅga) dalam Tripiṭaka, yang merupakan junjunganku — berkat belaskasih-Nya!” (3×)


“Saya, N., telah berlindung kepada Saṅgha, lebih baik kehilangan tubuh dan nyawa, namun selamanya tidak berlindung kepada komunitas spiritual non-Buddhis. Saya hanya berlindung kepada Saṅgha, ladang jasa (puṇyakṣetra) yang murni, yang merupakan junjunganku — berkat belaskasih-Nya!” (3×)


6. Guru pembimbing lalu mengajak pemohon mengucapkan Empat Tekad Umum Bodhisattva sebagai aplikasi Perlindungan yang telah diambil. Keempat tekad yang khas Mahāyāna ini berkaitan dengan Empat Kebenaran:

(a)
  Kebenaran tentang Penderitaan
Karena melihat bahwa bukan hanya dirinya saja yang menderita, semua makhluk di Triloka pun masih mengalami penderitaan, maka seorang bodhisattva bertekad untuk menyelamatkan makhluk-makhluk yang tiada bertepi.
(b)  Kebenaran tentang Sebab Penderitaan
Semua penderitaan, baik yang dialami dirinya sendiri maupun makhluk lain, disebabkan karena terikat oleh kekotoran batin (kleśa) seperti sepuluh pembelenggu 十使, dsb. Oleh karenanya, seorang bodhisattva bertekad untuk memotong kekotoran batin yang tiada akhir.
(c)  Kebenaran tentang Jalan menuju Akhir Penderitaan
Untuk mengakhiri segala penderitaan tersebut, tiada jalan lain selain berlatih moralitas (śīla), konsentrasi (samādhi), dan kebijaksanaan (prajñā). Untuk itu, seorang bodhisattva harus bertekad mempelajari berbagai Pintu Dharma yang tiada terukur.
(d)  Kebenaran tentang Akhir Penderitaan
Akhirnya, seorang bodhisattva bertekad untuk mencapai Kebuddhaan yang tiada tara, yang merupakan akhir dari segala penderitaan, sebab hanya melalui pencapaian Kebuddhaan segenap potensi tersempurnakan dalam dirinya sehingga, di samping membebaskan dirinya sendiri, ia mampu membebaskan semua makhluk dari penderitaan.

Rumusan berikut diulangi tiga kali:



“Saya, N., bertekad untuk menyelamatkan makhluk-makhluk yang tiada bertepi.
Saya, N., bertekad untuk memotong kekotoran batin yang tiada akhir.
Saya, N., bertekad untuk mempelajari Pintu Dharma yang tiada terukur.
Saya, N., bertekad untuk mencapai Kebudhaan yang tiada tara.” (3×)


7. Kemudian guru pembimbing akan memberikan nasihat agar penerima Triśaraṇa menjaga komitmen-komitmen setelah berlindung karena Triśaraṇa merupakan sebab utama untuk dapat terbebas dari saṃsāra. Berkat Triśaraṇa, apa yang kita cita-citakan dalam mempraktikkan Dharma dengan penuh keyakinan akan terwujud. Oleh karena itu, sewaktu menerima Triśaraṇa, sepatutnyalah kita bergembira dan membangkitkan pikiran telah menjumpaï sesuatu yang amat langka.

Sebuah kutipan dari Sūtra tentang Perbandingan Jasa-Jasa yang Langka” (Hsi-yu chiao-liang kung-tê ching 《希有校量功德經》, T. vol. 16, № 690 hlm. 784c) disebutkan di sini:
“Seandainya trisahasra-mahāsahasra-lokadhātu ini dipadati oleh para Tathāgata seumpama rumpun padi, rami, bambu, atau gelagah, dan seandainya terdapat seseorang yang memberikan persembahan berupa empat kebutuhan pokok selama 20.000 tahun. Lalu, setelah para Tathāgata tersebut parinirvāṇa, ia mendirikan stūpa-stūpa untuk Mereka masing-masing, dan kembali memberikan persembahan bermacam-macam dupa dan bunga. Walaupun sungguh banyak jasa-jasanya, itu tidaklah sebanding dengan jasa yang diperoleh seseorang yang, dengan batin yang murni, berlindung kepada Triratna.”


8. Ritus penerimaan Triśaraṇa ditutup dengan Penyaluran Jasa (pariṇāmanā) dan namaskāra tiga kali ke hadapan altar. Penerima Triśaraṇa lalu bernamaskāra tiga kali kepada guru pembimbing sebagai ungkapan terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar