Powered by Administrator

Translate

Jumat, 01 April 2022

Apakah Śīla Identik dengan Moralitas?

Buddhisme lahir di tengah masyarakat penutur bahasa-bahasa Indo-Arya di India Utara. Karenanya, banyak istilah yang digunakan Buddhisme berasal dari kosakata bahasa-bahasa Indo-Arya seperti Prakerta dan Sanskerta. Kata-kata yang semula bermakna general secara semantis bergeser dalam Buddhisme lantaran mengalami spesialisasi makna. Dari sekian banyak kata, kita ambil saja śīla sebagai contoh di mana gejala polisemi terjadi atasnya.

  1. Dalam penggunaan umum, śīla boleh dipadankan dengan ‘moralitas’ atau mungkin ‘etika’. Teks-teks Buddhis kadang masih menggunakan śīla dengan makna umum ini, beserta adjektiva turunannya: suśīla (‘bermoral’ — juga diserap ke bahasa Indonesia menjadi: susila) dan duḥśīla (‘tidak bermoral; imoral’ — serapannya ke bahasa Indonesia akan tetapi mengalami disimilasi fonetis menjadi: dursila). Sayangnya, dalam sebagian besar bahasan Dharma, bukan śīla dengan makna umum ini yang dimaksud oleh Buddha. Kita akan meninjaunya lebih lanjut.

    Dalam penggunaan Buddhis, Śīla tidak selalu bermakna ‘moralitas’. Seorang bhikṣu yang memiliki kebiasaan buruk makan berdecap-decap atau minum berseruput-seruput, menurut Prātimokṣasūtra berbagai mazhab, dikatakan telah melanggar Śīla (yakni sekhiyā/śaikṣā). Apakah karena kekurangannya tersebut lantas kita bisa melabeli bhikṣu itu imoral? Juga apakah kita bisa melabeli seorang bhikṣu imoral jikalau ia mandi setiap hari, sementara menurut Prātimokṣasūtra seorang bhikṣu yang mandi lebih dari sekali per dua minggu melanggar Śīla (yakni pācittika/pāyantika)?

  2. Samanerasikkha


  3. Maka bisa kita lihat penggunaan kata Śīla dalam Buddhisme terspesialisasi sebagai auto-hiponim karena mengandung kesan suatu ‘aturan’ atau ‘disiplin’ (saṃvara). Boleh juga menerjemahinya lebih lengkap: ‘aturan/disiplin moralitas’. Namun, disiplin Buddhis sesungguhnya bukan cuma merupakan norma kebermoralan sebab banyak preksripsi tatakrama yang tercakup di dalamnya, yang tidak terkait dengan moral, bisa jadi bersesuaian dengan norma tatakrama atau sopan-santun masyarakat umum, bisa juga bersifat khas Buddhis (lihat ilustrasi pada pembahasan prakr̥ti śīla vs. prajñapti śīla di sini).

    Dengan makna inilah komponen -śīla pada kata-kata majemuk Upāsakaśīla, Śrāmaṇeraśīla, Bhikṣuśīla, dsb. kita pahami. Śīla di situ bersinonim dengan saṃvara; Śrāmaṇeraśīla, misalnya, berarti Śrāmaṇerasaṃvara (‘disiplin keśrāmaṇeraan’). Kadang-kadang kata śikṣā (‘latihan’) juga digunakan secara sempit sebagai sinonim sehingga kita jumpaï pula bentuk: Śrāmaṇeraśikṣā.

    Mengartikan saṃvara untuk kata Śīla dirasa masih kurang lengkap sebab pranata-pranata sekuler maupun religius lain masing-masing juga memiliki disiplinnya sendiri. Hanya saja masalahnya: apakah disiplin-disiplin tersebut mampu mengarahkan pelaksananya menuju Kebebasan Sejati sebagaimana Śīla agama Buddha? Oleh karena itu, sinonim Śīla yang lebih persis adalah ‘(disiplin) pengarah Pembebasan’, Prātimokṣa (Saṃvara). Makna inilah yang dimaksud oleh Buddha dalam sebagian besar bahasan-Nya tentang Śīla.

    Bab I-21 Mahāprajñāpāramitā Upadeśa, “Makna Śīla Pāramī” 《大智度論・尸羅波羅蜜義》 (T. vol. 25, № 1509 hlm. 153b), dengan tegas membedakan:

    尸羅,秦言:性善。
    Makna śīla dalam bahasa Cina ialah ‘tabiat yang baik’ (kebermoralan; moralitas).

    好行善道,不自放逸——是名尸羅
    Suka melaksanakan jalan kebaikan, tidak berlengah diri — itulah yang dinamakan śīla.

    或受戒行善,或不受戒行善——皆名尸羅
    Entah melaksanakan kebaikan dengan mengambil Śīla (disiplin, dengan Ś kapital), entah melaksanakan kebaikan tanpa mengambil Śīla — semuanya dinamakan śīla.

    尸羅者,略說身·口律儀有八種:不惱害、不劫盜、不邪婬、不妄語、不兩舌、不惡口、不綺語、不飲酒、及 淨命——是名戒。
    [Spesifiknya,] śīla berupa disiplin atas jasmani dan ucapan (kāya-vāk-saṃvara) yang secara ringkas disebutkan berunsur delapan: tidak mengganggu atau mencelakaï, tidak merampas atau mencuri, tidak beraktivitas seksual yang sesat, tidak berucap dusta, tidak berlidah dua, tidak bermulut jahat, tidak mengomong kosong, tidak meminum minuman-keras, dan berpencaharian murni — itulah yang dinamakan Śīla.

    若不護、放捨,是名破戒。破此戒者,墮三惡道中。
    Jikalau tidak dijaga, dengan lengah dilalaikan, itulah yang dinamakan “merusak Śīla”. Perusak Śīla ini akan terjatuh ke tiga jalur kelahiran rendah.

    Mahāprajñāpāramitā Upadeśa mentranskripsikan shih-lo 尸羅 untuk śīla dalam makna moralitas secara umum, dan menterjemahkan chieh 戒 untuk Śīla sebagai disiplin (khususnya disiplin Buddhis, Prātimokṣa Saṃvara). Sambungan untuk petikan di atas pernah kita muat, dan sesungguhnya masih berkelanjutan hingga akhir bab I-21. Pada intinya, Śīla sebagai disiplin (yang diterjemahi menggunakan kata chieh 戒) itulah yang diuraikan di sepanjang bab I-21, I-22, dan I-23.

    Śīla agama Buddha diterima melalui pengambilan (samādāna), sama seperti disiplin pranata-pranata lain — misalnya: jabatan atau profesi tertentu — diterima dengan mengambil sumpah. Hal ini menimbulkan apa yang disebut sebagai “substansi” Śīla yang dibayangkan mengejawantah dalam diri si penerima, yang akan bertahan selama ia menjadi pemegang Śīla dan akan rontok apabila ia merusak Śīla. Inilah salah satu dari empat konotasi Śīla yang dicermati Vinayācārya Tᴀᴏ-ʜsᴜ̈ᴀɴ (lihat posting sebelumnya, yang disertaï contoh-contoh kalimat). Bahkan dalam kata Śīla, yang sudah merupakan sebuah auto-hiponim dengan makna utama 2a seperti di bawah, terdapat lagi polisemi secara horizontal:
    2a. Dharma tentang Śīla (yakni Śīla sebagai disiplin Buddhis),
    2b. substansi Śīla,
    2c. praktik Śīla, dan
    2d. karakteristik Śīla.

    2d. Sema Śīla dengan makna substansi disiplin merupakan yang terpenting dan sudah sering kita bahas teorinya panjang–lebar. Kali ini kita akan sedikit menyinggung makna 2d, yang signifikan secara linguistis. Bab XXIV Upāsaka Śīla Sūtra 《優婆塞戒經・業品》 (T. vol. 24, № 1488 hlm. 1070a) menyatakan:

    一一戒邊,多業·多果故。
    Sebab, dari sisi [setiap] śīla satu per satu, banyaklah karma [baik] sehingga banyak buahnya.

    眾生無量,戒亦無量;物無量故,戒亦無量。
    Makhluk-makhluk tiada terukur, karenanya Śīla pun tiada terukur; benda-benda tiada terukur, karenanya Śīla pun tiada terukur.

    Śīla dalam kalimat terakhir maksudnya adalah karakteristik Śīla. Pikiran kita yang delusif meliputi seluruh Dharmadhātu tiada terhingga, maka jangkauan pembentukan dan pelaksanaan Śīla (ruang lingkup dari substansi dan praktik disiplin) juga meliputi seluruh Dharmadhātu tiada terhingga (lihat posting terdahulu). Pikiran yang tiada terhingga memiliki buah-buah pikir yang tiada terukur — entah itu berkenaan dengan objek hidup (makhluk-makhluk) maupun objek tak-hidup (benda-benda) — sehingga Śīla untuk mendisiplinkannya juga tiada terukur karakteristiknya.

    Karakteristik Śīla yang tiada terukur, bila diuraikan dengan mendetail, akan menghasilkan unit-unit yang jumlahnya sukar dihitung. Unit-unit itu disebut dengan śīla juga (akan kita eja dengan ś kecil untuk membedakan). Di sini terjadi gejala auto-meronimi, di mana istilah yang sama untuk menyebut keseluruhan digunakan pula untuk bagian-bagiannya yang lebih kecil, dan bisa kita lihat pemakaiannya pada kalimat pertama kutipan di atas.

    Meronim śīla berpadanan dengan śikṣāpada (‘langkah latihan’). Pada kalimat “Dalam Bhikṣu Śīla terdapat 250 śīla”, maksudnya adalah “Dalam disiplin kebhikṣuan terdapat 250 langkah latihan”. Angka 250 hanyalah generalisasi sebab tidak ada yang tahu pasti berapa jumlah langkah latihan seorang bhikṣu persisnya — sesuai penjelasan karena objek-objek dalam ruang lingkup Śīla tiada terukur, maka karakteristik Śīla (langkah-langkah latihan) juga tiada terukur. Buddhisme Tiongkok menandaskan bahwa bhikṣu melaksanakan “3.000 tatakrama dan 80.000 praktik subtil” (三千威儀·八萬細行).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar