Powered by Administrator

Translate

Selasa, 21 Maret 2017

VĀRITRA ŚĪLA vs CĀRITRA ŚĪLA

Pernah kita singgung sambil lalu dalam pembahasan-pembahasan terdahulu klasifikasi lain dari śīla, yaïtu:

  1. Śīla yang sifatnya berhenti (vāritra śīla 止持戒)
    Yakni śīla yang melarang pemegangnya untuk melakukan sesuatu. Jika dilakukan, maka terjadi pelanggaran disiplin.

  2. Śīla yang sifatnya bertindak (cāritra śīla 作持戒)
    Yakni śīla yang memerintahkan pemegangnya untuk melakukan sesuatu. Jika tidak dilakukan, maka terjadi pelanggaran disiplin.

Sebagai bagian dari Prātimokṣa Saṃvara, vāritra śīla menghentikan kejahatan melalui jasmani dan ucapan. Misalnya: pantang membunuh, pantang berdusta, dsb. Disiplin bagi umat awam Buddhis, yang terdiri atas lima śīla, sepenuhnya bersifat vāritra.

Berbeda halnya, disiplin bhikṣu dan bhikṣuṇī mengandung śīla-śīla yang bersifat cāritra, seperti: aturan yang mengharuskan bermukim di suatu tempat selama musim hujan (varṣāvāsa). Jikalau seorang bhikṣu tidak melaksanakannya dan malah berkelana melanjutkan pengembaraan, maka ia melakukan pelanggaran duṣkr̥ta. Seorang bhikṣuṇī yang tidak bermukim selama musim hujan bahkan terkena pelanggaran pācittika/ prāyaścittika.

Sebagian penulis mengatakan bahwa ajaran penghormatan ke enam arah yang terdapat pada Śikhāla Sūtra (terdapat beberapa terjemahan, misalnya: 《尸迦羅越六方禮經》, T. № 16) merupakan cāritra śīla untuk umat awam. Ini adalah pengertian yang keliru karena merancukan istilah śīla. Kita tahu bahwa śīla merupakan sebuah polisem yang memiliki banyak makna, antara lain sebagai ‘etika’ secara umum, atau sebagai ‘disiplin’ (bersinonim dengan saṃvara). Bagaimana pun juga pengelompokan vāritracāritra hanya berkenaan dengan śīla sebagai disiplin.

Seorang upāsaka yang gagal menyokong anak-istrinya atau lalai merawat orangtuanya yang renta, tidak melanggar disiplinnya. Ia bukan kita sebut “hidup secara imoral”, melainkan “hidup dengan tidak etis”.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar