Powered by Administrator

Translate

Jumat, 11 September 2015

LIMA ŚĪLA & LIMA KEBAJIKAN

Jauh sebelum munculnya agama Buddha, di India tumbuhlah berbagai sekte śramaṇa yang menolak otoritas kitab-kitab Veda dan para brāhmaṇa-nya. Tradisi śramaṇa lebih mengutamakan kebajikan personal untuk mencapai Pembebasan dari saṃsāra daripada upacara kurban kepada dewa-dewa. Salah satu dari enam tokoh besar śramaṇa yang hidup sezaman dengan Buddha adalah Mahāvīra, pendiri agama Jainisme, yang berasal dari klan Jñātr̥. Ia lebih dikenal dengan nama Nigaṇṭha Nātaputta (Skt. Nirgrantha Jñātr̥putra) dalam teks-teks Pāli. Ajarannya dinyatakan dalam sutta ke-2 dari Dīgha Nikāya, Sāmaññaphala, berbunyi:

“Seorang nigaṇṭha terkendali dengan empat macam pengendalian diri (cātuyāma saṃvara). Bagaimanakah, o Baginda, seorang nigaṇṭha yang terkendali dengan empat macam pengendalian diri itu? Dalam dunia ini, seorang nigaṇṭha hidup mengendalikan diri terhadap semua air (sabbavāri vārito), mempergunakan semua air (sabbavāri yuto), menyingkirkan semua air (sabbavāri dhuto), dan melumuri dengan semua air (sabbavāri phuṭo).”

Teks Pāli, akan tetapi, telah keliru menyandangkan empat pengendalian sebagai ajaran Nātaputta. (Ada beberapa versi Śrāmaṇyaphala Sūtra dalam terjemahan Tionghoa; Mūlasarvāstivāda Vinaya juga memuat narasi Raja Ajātaśatru mengenaï ajaran keenam tokoh śramaṇa ini — tidak satu pun di antara berbagai versi di atas yang menyebut-nyebut empat pengendalian.) Selain itu, komentar Dīgha Nikāya, Sumaṅgalavilāsinī, juga memberi penjelasan membingungkan untuk kata sabbavāri sebagai ‘semua air’, sehingga penerjemah-penerjemah modern dalam bahasa Inggris mengabaikannya dan mengganti dengan makna lainnya: ‘semua penghindaran/pengekangan (dari dosa)’.

Menurut tradisi Jaina yang sebenarnya, empat pengendalian bukan diajarkan Mahāvīra, melainkan oleh Pārśva, tīrthaṅkara (secara harfiah: ‘pembuat arungan’) yang hidup k.l. 150 tahun sebelumnya. Cāturyāma dharma tidak berkaitan dengan penggunaan air dll., tetapi merupakan disiplin yang terdiri atas:
  1. Sarvaprāṇātipāta veramaṇa — Menghindari pembunuhan semua makhluk hidup, yakni mengembangkan ahiṃsā ‘tanpa-kekejaman’.
  2. Sarvamr̥ṣāvāda veramaṇa — Menghindari pengucapan semua kedustaan, yakni mengembangkan satya ‘kebenaran’.
  3. Sarvādattādāna veramaṇa — Menghindari pengambilan semua yang tidak diberikan, yakni mengembangkan asteya ‘tanpa-pencurian’.
  4. Sarvabahirdhādāna veramaṇa — Menghindari kemelekatan pada semua objek eksternal.

Disiplin keempat sudah kabur maknanya pada zaman Mahāvīra, yang merupakan tīrthaṅkara ke-24 atau terakhir, sehingga ia merincikan dua kebajikan lagi yang harus dikembangkan, agar lebih jelas:
  1. Brahmacarya ‘kehidupan kudus’, dan
  2. Aparigraha ‘tanpa-pemilikan’.
Kelima yāma ini berlaku, baik bagi kaum monastik maupun umat awam Jaina. Bagi kaum monastik brahmacarya berarti hidup membujang/selibat, sedangkan bagi umat awam dimengerti sebagai penghindaran aktivitas seksual di luar ikatan pernikahan. Demikian pula penerapan aparigraha bagi umat awam lebih kendur derajatnya dibandingkan kaum monastik, yang hanya boleh memiliki sedikit barang kepunyaan.


Begitu merasuknya ajaran pañcayāma ini sebagai falsafah hidup masyarakat India sehingga literatur dharmaśāstra Hindu belakangan pun meminjamnya. Misalnya, kitab Manusmr̥ti menyebutkan (bab X: 63):

Ahiṁsā satyam asteyaṁ
śaucam indriyanigrahaḥ /
etaṁ sāmāsikaṁ dharmaṁ
cāturvarṇye 'bravīn manuḥ //

“Tanpa-kekejaman, kebenaran, tanpa-pencurian,
kesucian, dan penguasaan indera —
inilah, secara ringkas, dharma
bagi keempat kasta,” kata Manu.

Baudhāyana Dharma-sūtra praśna II, 10:18 juga menerangkan berbagai sumpah seorang sannyāsin:

Atha imāni vratāni bhavanti: ahiṃsā, satyam, astainyaṃ, maithunasya ca varjanam, tyāga ity eva.
Selanjutnya, inilah brata-brata yang dimilikinya: tanpa-kekejaman, kebenaran, tanpa-pencurian, pantang berhubungan seksual, dan pelepasan.

Namun, yang paling mempopulerkannya barangkali ialah Patañjali, melalui Yoga Sūtra-nya (bab II “Sādhana Pāda”: 30):

Ahiṁsā-satya-asteya brahmacarya-aparigrahāḥ yamāḥ.
Tanpa-kekejaman, kebenaran, tanpa-pencurian, kehidupan kudus, dan tanpa-pemilikan — [inilah Lima] Pengendalian Diri.

Dari perbandingan dengan lima pengendalian di atas, dapat kita lihat bahwa tidak ada yang baru dalam lima śīla Buddhis. Selain śīla menghindari minum minuman keras, śīla-śīla lainnya merupakan hal yang sudah umum diketahui. Kasus yang mirip juga terdapat di Cina, di mana lima śīla Buddhis dipandang tidak lain merupakan pengamalan lima kebajikan konstan (wu-ch’ang 五常) Konfusianisme. Pendekatan-pendekatan untuk menyandingkan keduanya, misalnya, dilakukan:

Dalam komentar guru besar T’ien-t’ai, Chih-i 智顗, atas Narendrarāja Prajñāpāramitā Sūtra 《仁王護國
  般若經疏》 (T. vol. 33, № 1705 hlm. 260c–261a):
  • Tidak membunuh berpadan dengan jên 仁 ‘cinta-kasih kemanusiaan’.
  • Tidak mencuri berpadan dengan chih 智 ‘kebijaksanaan’.
  • Tidak berzinah berpadan dengan i 義 ‘kelurusan’.
  • Tidak berdusta berpadan dengan hsin 信 ‘kredibilitas/dapat dipercaya’.
  • Tidak meminum minuman keras berpadan dengan li 禮 ‘keadaban’.

Dalam risalah Mo-ho chih-kuan 《摩訶止觀》 (T. vol. 46, № 1911 hlm. 77b):
  • Tidak membunuh berpadan dengan jên 仁 ‘cinta-kasih kemanusiaan’.
  • Tidak mencuri berpadan dengan i 義 ‘kelurusan’.
  • Tidak berzinah berpadan dengan li 禮 ‘keadaban’.
  • Tidak berdusta berpadan dengan hsin 信 ‘kredibilitas/dapat dipercaya’.
  • Tidak meminum minuman keras berpadan dengan chih 智 ‘kebijaksanaan’.




Kalau begitu, apakah keunikan śīla-śīla Buddhis? Seperti yang sudah sering disinggung, dengan menerima śīla-śīla Buddhis terbentuklah saṃvara avijñapti khusus, Prātimokṣa Saṃvara, dalam diri kita. Prātimokṣa Saṃvara merupakan dharma yang unik (dharmāntara 別法) yang hanya ada selama berlangsungnya masa Ajaran dari seorang Samyak-saṃbuddha, dan hanya dimiliki oleh Buddhis. Non-Buddhis, yang bertekad menjalankan aturan-aturan moralitas tertentu, cuma mungkin memiliki naivasaṃvara-nāsaṃvara avijñapti yang bersifat baik (menurut sistém Vaibhāṣika) atau saṃvara avijñapti yang bersifat non-Prātimokṣa (menurut sistém Satyasiddhi).

Kita tahu bahwa latihan Buddhis itu berjenjang tiga (tisraḥ śaikṣāḥ), yakni: śīla, samādhi, dan prajñā. Adalah mustahil untuk mencapai samādhi tanpa śīla yang murni; dan śīla yang murni hanya dapat tercapai bila Prātimokṣa Saṃvara, disiplin pengarah Pembebasan, kita peroleh. Śīla-śīla Buddhis dilaksanakan dengan motivasi untuk meraih Pembebasan Sejati, sedangkan ajaran-ajaran moralitas dalam kepercayaan lain seringkali dilaksanakan hanya demi kelahiran di alam surga. Oleh karena itu, śīla-śīla Buddhis merupakan śīla yang melampaui duniawi (lokottara śīla), sedangkan ajaran-ajaran moralitas dalam kepercayaan lain hanya disebut śīla duniawi (laukika śīla).

Maka Abhidharmakośa Bhāṣya 《阿毘達磨俱舍論》 (T. vol. 29, № 1558 hlm. 73b) mengatakan:

外道無有所受戒耶?
Tiadakah Śīla yang dimiliki non-Buddhis berkat penerimaan (samādānika śīla)?

雖有,不名別解脫戒。由彼所受無有功能永脫諸惡,依著有故。
Walaupun ada, tetapi tidak disebut Prātimokṣa Saṃvara. Apa yang mereka terima tidak memiliki kemampuan untuk membebaskan secara mutlak dari segala kejahatan karena mereka masih melekat pada konsep keberadaan (bhava saṃniśritatvāt). [Yakni, bahkan dalam sistém kepercayaan yang meyakini kelahiran kembali, masih terdapat konsep tentang adanya jiwa {atma}. Jiwa-jiwa yang sudah mencapai Kebebasan dari saṃsāra akan tetap eksis selamanya “di suatu tempat di atas dunia”.]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar